MATA INDONESIA, KABUL – Terlahir sebagai perempuan di negara seperti Afghanistan tampaknya merupakan mimpi buruk. Bagaimana tidak, kaum perempuan dibayang-bayangi rasa khawatir dan ketakutan.
Ialah Najia –bukan nama yang sebenarnya, seorang ibu empat orang anak yang tinggal di sebuah desa kecil di Afghanistan utara. Putri Najia, Manizha tahu bahwa kelompok Taliban akan datang mengetuk pintu rumah mereka dan menuntut agar sang ibu memasak untuk makan 15 tentara Taliban.
“Ibuku memberi tahu mereka bahwa kami adalah keluarga miskin bagaimana bisa memasak untuk kalian. Namun, Taliban mulai memukulinya. Ibuku pingsan dan mereka terus memukulnya dengan senajata mereka (AK47),” tutur Manizha, melansir CNN, Kamis, 18 Agustus 2021.
Manizha mengatakan bahwa ia berteriak pada para tentara Taliban meminta untuk menghentikan aksi biadabnya, memukuli sang ibu. Mereka berhenti sejenak sebelum melemparkan granat ke kamar sebelah dan melarikan diri saat api menyebar, katanya. Najia pun meninggal akibat pemukulan itu.
Serangan mematikan yang terjadi pada 12 Juli di provinsi Faryab itu adalah gambaran mengerikan dari ancaman yang sekarang dihadapi perempuan di seluruh Afghanistan setelah Taliban mengambil alih ibukota Kabul.
Beberapa perempuan mengatakan mereka tidak punya waktu untuk membeli burqa untuk mematuhi aturan Taliban bahwa perempuan harus menutup tubuh mereka dan ditemani oleh kerabat pria ketika mereka meninggalkan rumah.
Bagi para perempuan Afghanistan, kain yang mengalir mewakili hilangnya hak yang tiba-tiba dan menghancurkan yang diperoleh selama 20 tahun, termasuk hak untuk bekerja, belajar, bergerak, dan bahkan hidup dalam damai – yang mereka khawatirkan tidak akan pernah diperoleh kembali.
Ketika Taliban terakhir memerintah Afghanistan antara tahun 1996 dan 2001, mereka menutup sekolah perempuan dan melarang perempuan bekerja. Namun, setelah invasi Amerika Serikat (AS) tahun 2001, pembatasan terhadap perempuan berkurang dan perlahan kaum perempuan mendapatkan haknya kembali.
Kali ini, Taliban berjanji untuk membentuk pemerintahan Islam inklusif Afghanistan, meskipun tidak jelas bentuk apa yang akan diambil dan apakah kepemimpinan baru akan mencakup perempuan.
Farzana Kochai, yang menjabat sebagai anggota Parlemen Afghanistan, mengatakan dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. “Belum ada pengumuman yang jelas tentang bentuk pemerintahan di masa depan – apakah kita memiliki parlemen di pemerintahan masa depan atau tidak?” katanya.
“Ini adalah sesuatu yang lebih mengkhawatirkan saya. Setiap perempuan memikirkan hal ini. Kami hanya mencoba untuk mendapatkan petunjuk … apakah perempuan akan diizinkan bekerja dan menduduki pekerjaan atau tidak?” sambungnya.
Juru bicara Taliban Suhail Shaheen mengatakan bahwa para remaja perempuan Afghanistan akan diizinkan untuk belajar. “Sekolah akan terbuka dan anak perempuan, mereka akan pergi ke sekolah, sebagai guru, sebagai siswa,” katanya.
Tapi cerita dari penduduk setempat melukiskan hal yang berbeda. Ada ketidakpercayaan mendalam terhadap militant Taliban yang menyebabkan kesengsaraan seperti itu di bawah pemerintahan terakhir mereka.
Pada Juli, Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan mengatakan di daerah-daerah yang dikendalikan oleh Taliban, perempuan telah diperintahkan untuk tidak menghadiri layanan kesehatan tanpa wali laki-laki. TV dilarang, sedangkan guru dan siswa diperintahkan untuk memakai sorban dan menumbuhkan janggut.
Ketika Taliban terakhir menguasai Afghanistan, perempuan yang tidak mematuhi perintah dipukuli. Taliban membantah membunuh Najia, ibu di provinsi Faryab, tetapi kata-kata mereka dibantah oleh saksi dan pejabat lokal yang mengkonfirmasi kematian seorang perempuan berusia 45 tahun yang rumahnya dibakar.
Seorang tetangga yang meneriaki para pria untuk berhenti mengatakan banyak perempuan di desa Najia adalah janda tentara Afghanistan yang kini harus mencari nafkah dengan menjual susu.