MATA INDONESIA, JAKARTA – Mantan Kapolda Papua Komjen (Purn) Paulus Waterpauw mengungkapkan fakta menarik terkait pergerakan KST Papua.
“Mereka itu warga masyarakat yang preman, tidak punya pekerjaan,” ujarnya, dikutip Senin 6 Desember 2021.
Perilaku preman yang sudah menjadi budaya dan turun temurun itulah tak bisa diselesaikan oleh aparat keamanan. Sepenuhnya perlu campur tangan pengambil kebijakan. Dalam hal ini pemerintah. Kelompok pemuda harus dijauhi dari kemungkinan terlibat dalam KST Papua.
Termasuk jika ada di antara mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan simpatisan atau anggota KST Papua. Mereka harus dijauhkan dari rasa tertekan dan perilaku diskriminatif karena ulah kerabatnya.
“Karena kelompok-kelompok kekerasan ini kan hidupnya sudah membengis, terlalu keras dan terlalu lama,” kata Paulus yang kini menjabat sebagai Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan BNPP ini.
Para teroris ini tinggal di berbagai wilayah. Dari data BNPT, ada Kelompok Yambi yang dipimpin Lekagak Telenggen. Berada di wilayah Kabupaten Puncak Ilaga.
Di wilayah Kabupaten Puncak Jaya, ada dua kelompok. Yakni Kelompok Tingginambut yang dipimpin Goliat Tabuni dan Kelompok Gome, dipimpin Militer Murib dan Peni Murib. Kelompok Lani Jaya dipimpin Purom Okiman Wonda.
Ada juga Kelompok Ndugama yang dipimpin Egianus Kogoya. Berada di wilayah Kabupaten Nduga. Kelompok Tembagapura, dipimpin Ayub Waker dan Sabinus Waker. Mereka berada di wilayah Kabaputen Mimika dan Kelompok Intan Jaya, wilayah Kabupaten Intan Jaya. Dan kelompok Kali Kopi dipimpin Joni Botak. Berada di Kabupaten Mimika.
Selama ini mereka hidup berkelompok. Menjadi penghuni pegunungan dan hutan. Menjauh dari peradaban. Pengakuan Paulus Waterpauw, mereka hidup dari hasil tindak kejahatan. Seolah menjadi budaya. Turun temurun dilakukan setiap generasi di KST Papua.
Paulus menjelaskan bahwa Para KST Papua muda melihat pengalaman senior-seniornya. Mereka memperlihatkan cara mendapatkan uang dengan cara kekerasan. Cukup memalak dan memeras orang lain. Bahkan merampas senjata aparat keamanan. Dengan begitu mereka bisa pegang senjata. Berbekal senjata, mereka kembali melakukan pemerasan untuk mendapatkan uang.
“Mereka menikmati hidupnya dengan cara-cara seperti itu,” katanya.
Sementara menurut Danrem 173/PVB, Brigjen Taufan Gestoro, kebanyakan anggota KST Papua yang memasuki usia senja, sudah kembali ke pelukan NKRI. Kembali ke masyarakat. Mereka melakukan kegiatan yang positif. Sementara sisanya di KKB saat ini, rata-rata berusia muda.
“Dari mereka kebanyakan anak-anak mudanya. Mungkin hanya ikut-ikutan,” ujarnya.
Kelompok ini melakukan regenerasi. Merekrut anggota dan simpatisan baru dari kalangan pemuda. Dengan cara membentuk kelompok pemuda di tengah masyarakat. Lalu memberikan fasilitas, mencukupi urusan perut. Bahkan diberikan anggaran. Analisis Paulus Waterpauw, mereka melakukan rekayasa cipta kondisi untuk menarik simpati kalangan pemuda.
Rekayasa lainnya dari sisi politik. Mereka terus berusaha menjaga eksistensi kelompok separatis dengan cara masuk dalam lingkaran pemerintahan. “Pemenangan pemilihan desa, bupati. Seterusnya seperti itu.”
Menurut Pengamat Militer Universitas Padjadjaran, Muradi, dalam menumpas KST Papua, ada tiga layer yang dinilai harus dibersihkan. Pertama anggota KKB itu sendiri. Selanjutnya simpatisan.
“Yang ketiga adalah simpatisan dan donatur. Yang ketiga ini kita tidak bisa masuk. Karena dia berada dalam skema birokrat,” katanya.
Perintah Presiden Jokowi terkait konflik Papua sudah jelas. Yakni melalui pendekatan kesejahteraan. Tidak melupakan penindakan hukum yang proporsional bagi pelanggaran kemanusiaan.
“Demikian juga arahan panglima TNI juga jelas tentang kebijakan baru pengamanan di Papua menggunakan pola pendekatan teritorial dan sosial,” ujar Deputi V KSP Bidang Polkuham Jaleswari Pramodhawardani.
Pun Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa sudah memberi perintah. Mengedepankan komunikasi dalam mengatasi konflik Papua. Pengalaman selama ini, penyelesaian konflik dengan pendekatan kekerasan atau senjata tidak menyelesaikan masalah. Justru menambah panjang daftar korban kedua belah pihak.
“Kita coba dengan cara yang humanis-lah, kedepankan nilai kemanusiaan itu, itu saja,” kata Danrem 173/PVB, Brigjen Taufan Gestoro.
Jaleswari melanjutkan, konflik Papua dan eksistensi KST Papua di dalamnya tidak bisa dilihat secara parsial, homogen dan mengeneralisasi segala urusan. Apalagi bicara Papua dengan kondisi geografis yang unik, suku dan wilayah adat. Penyelesaian konflik tidak seperti pendekatan daerah lain.
Pengamat Militer Muradi menilai pendekatan soft power era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai belum menyentuh akar permasalahan konflik di Papua. Membangun heart of mind warga Papua agar tetap NKRI. Pendekatan ini belum maksimal.
“Membuat hubungan dengan warga Papua tidak akan pernah tuntas. Karena NKRI harga matinya lebih ke soal jargon bukan soal hati,” ujar Muradi.