MATA INDONESIA, OSLO – Kedatangan delegasi Taliban di Oslo untuk pembicaraan tiga hari dengan diplomat Norwegia dan negara-negara lain memicu beragam reaksi, baik dari dalam maupun luar negeri. Sekadar informasi, pertemuan tersebut diadakan di hotel mewah, Soria Moria.
Pemimpin Partai Kemajuan Norwegia, Sylvi Listhaug menganggap bahwa agenda tersebut hanya menghambur-hamburkan uang pajak yang telah dibayarkan warga Norwegia.
“Ini adalah penggunaan uang pembayar pajak yang tidak berarti, untuk mengundang organisasi teroris ekstremis Taliban dalam perjalanan mewah ke Norwegia,” kata Sylvi Listhaug, melansir Sputnik News, Senin, 24 Januari 2022.
“Ini adalah contoh mencolok bagaimana pemerintah menyia-nyiakan uang pajak kami”, sambung Listhaug dalam komentar tertulis, sambil menuntut jawaban dari pemerintah tentang berapa biaya kunjungan itu negara.
Beberapa jam kemudian, Kementerian Luar Negeri Norwegia menjawab bahwa kunjungan tersebut, termasuk biaya sewa jet pribadi, diperkirakan mencapai hampir 800.000 USD atau sekitar 11 miliar Rupiah!
“Meskipun ini bukan uang yang banyak untuk Kementerian Luar Negeri, yang mengelola anggaran bantuan pembangunan sebesar NOK 40 miliar (4,5 miliar USD), itu masih tidak menghormati pembayar pajak,” kecam Listhaug.
Lebih lanjut, Listhaug berpendapat bahwa naif pihak berwenang Norwegia untuk percaya bahwa agenda ini akan membantu membangun dialog dengan Taliban – yang kembali ke tampuk pemerintahan Afghanistan pada 15 Agustus 2021.
“Fakta bahwa pihak berwenang Norwegia menganggap penting untuk berbicara dengan Islamis ekstrem tentang hak asasi manusia dan hak-hak perempuan sama naifnya dengan mempercayai Santa Claus dan kelinci Paskah pada saat yang sama,” katanya.
“Taliban datang dengan 15 pria dan nol perempuan. Itu telah mengatakan segalanya,” Listhaug mencatat kepada surat kabar Nettavisen, menambahkan bahwa itu memalukan untuk Norwegia.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Norwegia, Anniken Huitfeldt menekankan bahwa pertemuan tersebut bukanlah legitimasi atau pengakuan terhadap rezim Taliban dan pembicaraan difokuskan pada hak asasi manusia dan krisis kemanusiaan yang parah yang dihadapi Afghanistan saat ini.
Taliban mengambil kendali penuh atas Afghanistan setelah penarikan tiba-tiba pasukan Amerika Serikat dan sekutu yang menandai berakhirnya perang 20 tahun di Afghanistan. Sebuah perang terpanjang dan termahal dalam sejarah modern AS dan yang mengakibatkan ratusan ribu jiwa tewas dari kedua belah pihak.