MINEWS.ID, JAKARTA – Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat selama ini terkendala syarat formil dan materiil sehingga banyak yang tidak bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan. Termasuk kasus 1965, Semanggi I dan Semanggi II.
Hal itu diungkapkan Jaksa Agung ST Burhanuddin saat rapat dengan Komisi III DPR RI di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis 7 November 2019.
Selain itu, sudah ada hasil paripurna DPR RI yang menyatakan kasus Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat.
Menurut Burhanuddin, Kejaksaan Agung sudah melakukan koordinasi penanganan kasus enam berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat pada 15-19 Februari 2016 di Hotel Novotel, Bogor.
Keenamnya adalah kasus peristiwa Trisakti, kerusuhan Mei 1998, peristiwa penghilangan orang secara paksa, kasus Talangsari, penembakan misterius dan peristiwa 1965. Namun masih kekurangan syarat formil maupun materiil.
Selain itu banyak peristiwa yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Misalnya Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998.
Lalu, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.
Sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.