MINEWS, JAKARTA – Pergerakan mata uang rupiah atas dolar Amerika Serikat (AS) diramalkan akan berbalik menguat terbatas pada perdagangan hari Kamis 29 Agustus 2019.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa Kamis ini, mata uang garuda bakal bergerak pada kisaran Rp 14.215 hingga Rp 14.284 per dolar AS.
Sebagai perbandingan pada akhir perdagangan Rabu kemarin, rupiah ditutup tak bergerak di level Rp 14.255 per dolar AS.
Ibrahim mengatakan bahwa pergerakan rupiah masih akan disebabkan oleh beberapa sentimen dari internal  dan eksternal di antaranya sebagai berikut.
Pertama, Bank Indonesia (BI) optimis bahwa ekonomi AS tidak akan terkena resesi karena saat ini ekonomi AS masih cukup kuat, bahkan PDB kuartal II tahun 2019 kemungkinan tumbuh di 2,1 persen. Inflasi AS juga masih terkendali, penjualan ritel juga cukup bagus.
“Meski demikian, BI tetap memperhatikan perkembangan ekonomi AS. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sebagian besar bank sentral di dunia saat ini, seperti BI memiliki kecenderungan kebijakan yang sama yaitu pelonggaran moneter dan ekspansi fiscal,†ujar Ibrahim Rabu sore kemarin.
Kedua, Untuk menstabilkan mata uang rupiah, BI terus melakukan intervensi melalui perdagangan di valas dan obligasi di pasar DNDF sehingga mata uang rupiah masih bisa di kendalikan dengan baik walaupun dalam perdagangan awal bisa melemah cukup tajam tetapi dalam penutupan nanti rupiah akan kembali melemah tipis.
Sementara dari eksternal sentimen untuk rupiah datang dari, sikap China yang membantah klaim dari Trump soal damai dagang yang dianggap tak pernah terjadi.
“China justru mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan AS yang kembali menetapkan bea masuk yang lebih tinggi bagi importasi produk asal China. Langkah AS tersebut sama sekali tak konstruktif,†ujar Ibrahim Rabu sore ini.
Kemudian, eskalasi perang dagang AS-China bisa membawa perekonomian AS jatuh ke jurang resesi. Dalam beberapa waktu terakhir, yield obligasi AS tenor 2 tahun sempat beberapa kali bergerak melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.
Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield atau imbal hasil obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang.
“Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek,†kata dia.