Insetif dan Relaksasi Pajak untuk Bangkitkan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Covid-19 memorak-morandakan seluruh tatanan kehidupan. Bukan hanya mengakibatkan timbulnya korban jiwa, mengubah gaya hidup dan tata cara bersosialisasi, yang lebih parah adalah dampak di sektor ekonomi.

Pemerintah melakukan sejumlah upaya terbaik untuk penyelamatan ekonomi. Salah satunya fokus pada pemberian kredit modal kerja yang lebih besar kepada pelaku usaha UMKM. Selain itu, pemerintah–melalui Kementerian Keuangan–telah mengeluarkan beberapa kebijakan insentif dan relaksasi di bidang perpajakan untuk wajib pajak yang terkena dampak pandemi Covid-19 demi terwujudnya Pemulihan Ekonomi Nasional. Apa itu insentif dan relaksasi pajak?

Insentif dan relaksasi pajak adalah kebijakan pemerintah yang mengacu pada upaya yang dilakukan suatu negara untuk menarik investor dalam rangka mendorong aktivitas ekonomi. Hal ini juga menjadikan kompetisi antarnegara untuk meyakinkan investor masuk dan menanamkan modal di negaranya serta tidak berpindah ke negara lain.

Adapun insentif  pajak yang pemerintah berlakukan sementara selama pandemi Covid-19 berlangsung, antara lain, insentif PPh Pasal 21 yang diberikan kepada karyawan yang memiliki NPWP dan penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp 200 juta.

Karyawan akan mendapatkan penghasilan tambahan dalam bentuk pajak yang tidak dipotong karena atas kewajiban pajaknya ditanggung oleh pemerintah. Apabila perusahaan memiliki cabang, maka pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 cukup disampaikan oleh pusat dan berlaku untuk semua cabang.

Sebagaimana diatur bahwa karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di salah satu dari 1.189 bidang usaha tertentu, perusahaan yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), atau perusahaan di kawasan berikat dapat memperoleh insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah. Insentif ini diberikan kepada karyawan yang memiliki NPWP dan penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200 juta.

Selanjutnya adalah insentif pajak UMKM. Diketahui, pelaku UMKM mendapat insentif PPh final tarif 0,5 persen sesuai Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2018 (PPh Final PP 23) yang ditanggung pemerintah. Dengan demikian, wajib pajak UMKM tidak perlu melakukan setoran pajak.

Tak hanya itu, pihak-pihak yang bertransaksi dengan UMKM juga tidak perlu melakukan pemotongan atau pemungutan pajak pada saat melakukan pembayaran kepada pelaku UMKM. Pelaku UMKM yang ingin memanfaatkan insentif ini tidak perlu mengajukan surat keterangan PP 23, tetapi cukup menyampaikan laporan realisasi setiap bulan.

Insentif lainnya adalah PPh Final Jasa Konstruksi. Disebutkan bahwa pemerintah menanggung PPh final jasa konstruksi bagi wajib pajak yang menerima penghasilan dari usaha jasa konstruksi dalam Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI). Pemberian insentif itu dimaksudkan demi mendukung peningkatan penyediaan air (irigasi) sebagai proyek padat karya yang merupakan kebutuhan penting bagi sektor pertanian kita.

Ada lagi insentif PPh Pasal 22 Impor. Di mana, wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 730 bidang usaha tertentu (sebelumnya Nomor SP-05/2021721 bidang usaha), perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat mendapat insentif pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor.

Selanjutnya ada insentif angsuran PPh Pasal 25. Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 1.018 bidang usaha tertentu (sebelumnya 1.013 bidang usaha), perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat mendapat pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50 persen dari angsuran yang seharusnya terutang.

Kemudian ada insentif PPN, di mana pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah yang bergerak di salah satu dari 725 bidang usaha tertentu (sebelumnya 716 bidang usaha), perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat mendapat insentif restitusi dipercepat hingga jumlah lebih bayar paling banyak Rp 5 miliar.

Tak hanya insentif-insentif pajak tersebut, pemerintah juga menetapkan beberapa relaksasi. Di antaranya, penurunan tarif PPh Badan yang yang semula 25 persen diturunkan menjadi 22 persen untuk tahun pajak 2020 dan 2021, lalu menjadi 20 persen pada tahun pajak 2022. Sedangkan untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbuka dengan jumlah keseluruhan saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia paling sedikit 40 persen, dan memenuhi syarat tertentu, dapat memperoleh tarif 3 persen lebih rendah dari tarif umum PPh Badan. Sehingga tarif PPh Badan menjadi 19 persen untuk tahun pajak 2020 dan 2021, lalu 17 persen mulai tahun pajak 2022.

Lalu ada pula relaksasi berupa perpanjangan waktu dalam administrasi perpajakan. Di mana jangka waktu pengajuan keberatan oleh wajib pajak sebagaimana dalam Pasal 25 Ayat (3) Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 28/2007) diperpanjang paling lama enam bulan.

Jangka waktu penerbitan surat ketetapan pajak sehubungan dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dalam Pasal 113 Angka 8 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang mengubah Pasal 17B Ayat (1) Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 6/1983) diperpanjang paling lama enam bulan.

Lalu jangka waktu pemberian keputusan atas keberatan sebagaimana dalam Pasal 26 Ayat (1) UU 28/2007 diperpanjang paling lama 6 bulan. Jangka waktu permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan, atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pengurangan atau pembatalan hasil pemeriksaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Ayat (1) UU 28/2007 diperpanjang paling lama 6 bulan. Sedangkan jangka waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dalam Pasal 113 Angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 11 Ayat (2) UU 6/1983 diperpanjang paling lama satu bulan.

Relaksasi lainnya adalah pemberian fasilitas kepabeanan. Diketahui, Menteri Keuangan memiliki kuasa untuk memberikan fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19, dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 34 tahun 2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan perubahannya.

Relaksasi lain adalah pajak atas transaksi elektronik. Pemerintah berencana memungut PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak oleh platform luar negeri melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Selain PPN, pemerintah turut memungut PPh atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan PMSE oleh subjek pajak luar negeri yang memiliki kehadiran ekonomi signifikan di Indonesia.

Dengan memberikan keringanan berupa insentif dan relaksasi pajak kepada masyarakat Indonesia, diharapkan masyarakat kompak dan calon investor terus berinvestasi di Indonesia. Selain itu dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan tidak lagi merasakannya sebagai beban, penerimaan negara akan bertambah dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat Indonesia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Presiden Instruksikan Kementerian dan Lembaga Gerak Cepat Sukseskan Program Makan Bergizi Gratis

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan seluruh kementerian dan lembaga untuk bergerak cepat demi menyukseskan Program Makan Bergizi Gratis...
- Advertisement -

Baca berita yang ini