Ini Cerita Hakim Konstitusi Jadi ‘Nomaden Elit’, Termasuk Ngantor di Tempat Parkir

Baca Juga

MINEWS.ID, JAKARTA – Hari ini 18 Agustus 2019, Wakil Presiden Jusuf Kalla menghadiri peringatan Hari Konstitusi yang digelar MPR RI di Senayan. Peringatan di tempat yang megah itu berbanding 180 derajat dari pertama kali hakim Mahkamah Konstitusi (MK) beroperasi 16 tahun lalu yang menjadi ‘nomaden elit’, karena sering berpindah kantor.

Berdasarkan undang-undang, legalitas MK disahkan pada 13 Agustus 2003 yaitu melalui UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Tiga hari kemudian, 16 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003, sembilan hakim konstitusi diambil sumpahnya.

Setelah dilakukan sejumlah pelimpahan perkara diterima dari Mahkamah Agung, 15 Oktober 2003 resmi beroperasi.

Nah, saat itu lah para pencari keadilan kebingungan ketika harus beracara di MK. Sebab, hingga beroperasinya MK tidak memiliki kantor.

Sebagai ketua, Jimly Asshiddiqie mengaku tidak menghendaki dipinjami kantor oleh pemerintah karena ingin menjaga jarak dengan kekuasaan. Masalahnya, banyak perkara MK akan berkaitan dengan kekuasaan.

Alhasil, Ketua MK yang menjabat sejak 2003 sampai dengan 2008 itu harus merelakan telepon selulernya sebagai penghubung dengan orang-orang yang berperkara saat itu.

Dalam beberapa kesempatan Jimly mengungkapkan, jika saat itu ditanya alamat kantor MK, maka dia akan menunjuk tas koper yang dibawa-bawanya kemana pun pergi. Sebab, di dalam tas itu lah segala macam keabsahan administrasi MK berada seperti cap MK, bahkan hingga kertas surat berkop MK.

Surat perkenalan MK yang pertama kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara bahkan memakai kop surat karangan sendiri, dengan beralamat nomor ponsel pribadi Jimly.

“Saya dulu suka diledek karena kop surat dan alamat nomor handphone itu. Itu bersejarah sekali,” ujar Jimly pada suatu kesempatan.

Melalui sebuah biografi singkat, Jimly Asshiddiqie menuturkan pengalamannya saat mulai menjabat Ketua MK dia hanya bermodalkan tiga dokumen.

Pertama, UUD 1945 hasil kerja MPR. Kedua, undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi hasil kerja DPR dan pemerintah. Terakhir, Keppres pengangkatan Hakim MK yang diterbitkan tanggal 15 Agustus.

Saat itu tidak ada kantor, uang operasional, tanpa pegawai dan belum digaji. Mesin ketik pun tidak ada.

“No nothing. Kayak zaman revolusi saja. Saya hanya bilang pada rekan-rekan hakim, bahwa kita harus menjadi contoh,” kenangnya dalam Setengah Abad Jimly Asshiddiqie: Konstitusi dan Semangat Kebangsaan (2006).

Untuk menunjang pekerjaan hakim konstitusi itu, pertama kali MK menyewa ruangan di Hotel Santika Jakarta dengan sistem bayar belakangan. Langkah itu diambil karena enam dari sembilan hakim konstitusi saat itu bertempat-tinggal di luar kota.

Setelah sekitar satu bulan berkantor di hotel, pemerintah memindahkan kantor MK ke Plaza Centris, Lt. 4 dan Lt. 12A, HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Sayangnya kantor di Plaza Sentris memiliki keterbatasan ruang, sehingga para hakim MK terpaksa “menyulap” lahan parkir pun menjadi ruang kerja. Beberapa kali, MK juga meminjam gedung Nusantara IV (Pusataka Loka), kompleks MPR/DPR untuk menggelar persidangan.

Pada tahun 2004, MK akhirnya bisa menggelar persidangan di kantor sendiri, setelah menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat, milik Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo).

Setahun kemudian negara akhirnya membangun gedung MK pada 17 Juni 2005. Gedung itu mulai digunakan pada 13 Agustus 2007 bertepatan dengan Hari Jadi MK.

Kini gedung itu lebih representatif meskipun tidak semegah gedung-gedung di DPR/MPR, setidaknya tidak menjadi ‘nomaden elit’ lagi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Bersinergi Menjaga Netralitas Pemilu Demi Pilkada yang Berkualitas

Jakarta - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi perhatian utama dalam menjaga kualitas Pilkada Serentak 2024. Badan Pengawas Pemilu...
- Advertisement -

Baca berita yang ini