MATA INDONESIA, JAKARTA – Baru-baru ini banyak pihak yang meminta agar kesalahan penulisan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law Cipta Kerja harus diseret ke ranah pidana.
Namun hal ini dibantah oleh Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar. Ia menilai kesalahan pengetikan tersebut tak bisa dipidana.
Fickar pun menjelaskan bahwa kesalahan dalam pembuatan UU Ciptaker cuma bersifat administratif politis.
“Pidana kecuali bisa dibuktikan yang sengaja mengubah, mendapatkan atau memperoleh sesuatu yang bersifat ekonomis sebagai suap atau gratifikasi,” katanya, Jumat 6 November 2020.
Ia lalu mengungkapkan salah satu penyebab kesalahan tersebut tak bisa dibawa ke pidana karena terganjal undang-undang. Terutama dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Pasal 245 mengatur soal impunitas tersebut.
Pasal 245 ayat (1) mengatur anggota DPR tak bisa dipanggil untuk pemeriksaan oleh aparat penegak hukum terkait kasus pidana tanpa seizin Presiden yang mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Sementara ayat (2), aturan pada ayat (1) tak berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan pidana, menjadi tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, serta menjadi tersangka pidana khusus.
Selain itu, aturan yang mengganjal lainnya yaitu pasal 51 KUHP.
“Tetapi jika ditemukan bukti anggota DPR terima suap dalam rangka mengganti pasal, bisa dituntut pidana korupsi,” ujarnya.
Yang ngetik gk bisa disalahkan 100 persen, karena sebelum ditandatangan presiden, pasti hrs diparaf oleh para pejabat. Nah para pejabat tersebut rupanya jg blm baca trehafap naskah yg dia paraf. Ini jadi pembelajaran, seblm diparaf hrsnya dibaca dulu naskahnya barangkali masih ada yg salah atau ada yg kurang. Berat memang tugas para pimpinan, tapi toh gajinya jg lebih gede… Kasihan sekali kalau yg disalahkan cuma bagian tukang ketik, nanti pasti akan terulang lagi kasus serupa…..