Gelar Aksi, LMND Kupang Kritik Komersialisasi Pendidikan dan Konflik Lahan di NTT

Baca Juga

Minews.id, Kota Kupang – Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) EK Kota Kupang menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu, 9 Juli 2025 siang. Aksi ini mengangkat sejumlah isu penting, mulai dari dugaan perampasan tanah adat dan komersialisasi pendidikan yang dinilai semakin memperlebar jurang ketidakadilan bagi rakyat miskin di NTT.

Aksi yang dimulai dari depan Pos Polisi Jalan Eltari ini diwarnai dengan pembentangan bendera organisasi, dua spanduk bertuliskan “Kami LMND Bersama Rakyat Melawan Tirani dari Kampus ke Desa, dan Hentikan Perampasan Tanah di NTT serta Hentikan Komersialisasi dalam Dunia Pendidikan,” serta berbagai poster tuntutan.

Jeni Seran, Ketua Depertemen Perempuan LMND Kota Kupang, dalam orasinya menegaskan bahwa kesulitan akses terhadap pendidikan, ekonomi, dan kebutuhan sosial adalah bukti nyata minimnya keberpihakan negara terhadap masyarakat tertindas. Ia menyoroti semakin masifnya perampasan lahan oleh negara di NTT dengan dalih Proyek Strategis Nasional (PSN), yang justru membawa penderitaan bagi masyarakat, termasuk di Pulau Flores, Timor, dan Pulau Kera.

“Terbukti bahwa di NTT semakin masif terjadi peristiwa perampasan lahan oleh negara terhadap masyarakatnya sendiri,” ujar Jeni, sembari secara spesifik mengkritik penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi dan objek pembangunan proyek Geotermal yang disebutnya telah merampas ruang hidup masyarakat adat.

Jeni menekankan bahwa Pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjamin kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir kapitalis. Baginya, perampasan tanah sama dengan merampas kehidupan mayoritas petani NTT.

Di sisi pendidikan, orator Gunawan menyoroti amanat UUD 1945 Pasal 31 tentang pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis yang semakin dikomersialkan. Ia menyebut fenomena “Indonesia Emas 2045” sebagai jargon kosong jika hak dasar pendidikan rakyat tidak terpenuhi. Data BPS 2023 yang menunjukkan 3,2 juta anak usia sekolah tidak mengenyam pendidikan formal karena alasan ekonomi, serta angka buta huruf nasional di atas 3 juta orang dewasa, menjadi bukti nyata kegagalan ini.

Gunawan memprihatinkan posisi NTT sebagai provinsi kedua tertinggi angka buta hurufnya (5,01%) dan tingkat partisipasi SMA yang hanya 66%.

“Ribuan anak muda di pedalaman terpaksa meninggalkan bangku sekolah demi membantu orang tua atau merantau sebagai buruh kasar,” ungkapnya.

Gunawan mengkritik keras kebijakan pemerintah pusat di bawah Prabowo-Gibran yang dianggapnya tidak pro-rakyat, ditandai dengan kenaikan biaya registrasi kuliah, mahalnya UKT, dan terbatasnya beasiswa.

Pemerintah Daerah NTT juga tidak luput dari kritik, dinilai gagap dan abai dalam menjamin pendidikan yang berkeadilan. Ia juga menilai kampus kini hanya mencetak ijazah, bukan pusat pembebasan intelektual, dengan ruang kritis yang dibungkam.

“Pendidikan bukan lagi hak, melainkan barang dagangan. Dalam sistem seperti ini, anak miskin tidak punya tempat,” tegas Gunawan, menyerukan agar pendidikan dibebaskan dari logika pasar dan dikembalikan sebagai ruang rakyat.

Deddy Taoet, koordinator aksi, dalam pembacaan pernyataan sikap organisasi secara spesifik mengangkat isu ancaman terhadap identitas dan kedaulatan masyarakat adat Amanuban di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT.

Ia menjelaskan bahwa masyarakat Amanuban, bagian dari suku Dawan (Atoni Pah Meto), memiliki sistem sosial, politik, dan ekonomi tradisional yang kuat, termasuk tata kelola tanah berdasarkan hukum adat yang diwariskan turun-temurun.

Bagi mereka, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan bagian integral dari identitas budaya, spiritualitas, dan kelangsungan hidup. Tanah adat diatur oleh ritus dan hukum adat, menjaga keseimbangan antara manusia dan leluhur, tidak diperjualbelikan, dan berfungsi sebagai tempat ritual, situs sakral, serta sumber penghidupan.

Deddy menyoroti ancaman terhadap Hutan Laob Tumbes, yang disebutnya sebagai jantung kehidupan masyarakat adat Amanuban. Namun, dengan terbitnya SK 357/MENLKH/SETJEN/PLA.0/05, Laob Tumbes ditetapkan sebagai hutan produksi tetap.

“Dengan satu keputusan administratif dari pusat, tanah adat yang dilindungi oleh ritus, hukum adat, dan semangat gotong royong, diubah menjadi komoditas siap ditebang, dibagi, dan dijual atas nama pembangunan,” tukas Deddy.

Tak luput juga kritik dilontarkan kepada Pemerintah Kabupaten TTS dan Pemerintah Provinsi NTT yang dinilai diam atau bersekongkol dalam tragedi ini.

Deddy menegaskan bahwa diam adalah bentuk paling senyap dari pengkhianatan terhadap masyarakat Amanuban. Ia juga menilai pemerintah daerah berdiri di balik bayang-bayang Jakarta dan modal, tanpa keberanian untuk membela rakyatnya sendiri.

“Alih-alih melindungi tanah adat, mereka menjadi fasilitator bagi kapitalis dan perusahaan besar yang membawa janji manis tetapi meninggalkan luka panjang,” pungkas Deddy, menggambarkan dampak serius hilangnya kedaulatan atas tanah adat bagi masyarakat Amanuban. (Nino)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pengamat Hankam: Stabilitas Keamanan dan Logistik Jadi Fokus Utama Jelang Nataru

MataIndonesia, Jakarta - Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025, perhatian pemerintah bersama aparat keamanan tertuju pada upaya...
- Advertisement -

Baca berita yang ini