Pemerintah Jogja Belum Serius? Anak Muda Desak Keadilan Iklim, Respons Wali Kota Hasto Wardoyo Dipertanyakan

Baca Juga

Mata Indonesia, Yogyakarta – Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 dimaknai secara berbeda oleh sekelompok anak muda yang tergabung dalam Asian Young People for Action (AYA) Regional Yogyakarta.

Pada Rabu 2 Juli 2025 kemarin, mereka melakukan audiensi dengan Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, untuk menyuarakan kegelisahan atas krisis iklim yang semakin terasa dampaknya di wilayah Yogyakarta.

Audiensi bertajuk “Merawat Bumi Lewat Kata dan Aksi” ini menjadi bagian dari kampanye nasional “Surat Iklim” dan lanjutan dari program Climate Reading, sebuah gerakan literasi lingkungan.

Melalui program ini, para pemuda menulis harapan dan keresahan mereka dalam bentuk kartu pos yang ditujukan langsung kepada para pengambil kebijakan.

Yogyakarta dalam Status Darurat Iklim dan Ekologi

Dalam pertemuan tersebut, AYA mengungkapkan sejumlah masalah lingkungan kritis di Yogyakarta, termasuk cuaca ekstrem, penyusutan cadangan air tanah, konversi lahan hijau menjadi bangunan beton, serta meningkatnya ancaman banjir dan kekeringan.

Kondisi ini dinilai paling berdampak pada kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, petani kecil, dan warga miskin perkotaan.

Rose Merry, perwakilan dari Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia, menegaskan bahwa walau banyak inisiatif lingkungan dimotori anak muda mulai dari isu sampah, pencemaran sungai, hingga kualitas udara upaya tersebut masih berjalan sendiri-sendiri.

“Kita butuh gerakan kolaboratif yang menyatukan energi positif anak muda dan dukungan kebijakan pemerintah agar dampaknya nyata,” tegas Merry.

Dari Kecemasan Iklim ke Aksi Nyata

Para pemuda juga menyuarakan pengalaman mereka menghadapi climate anxiety, yaitu kecemasan mendalam terhadap masa depan bumi yang kini diakui sebagai dampak psikologis dari perubahan iklim.

Wahyu Aji dari AYA menyampaikan bahwa partisipasi anak muda dalam kebijakan iklim tidak boleh bersifat simbolis.

Mereka harus dilibatkan aktif dalam program nyata seperti transisi energi bersih, pengembangan ruang terbuka hijau yang inklusif, serta penyediaan fasilitas publik ramah lingkungan.

“Keadilan iklim harus mencakup keterlibatan aktif anak muda, perempuan, dan kelompok rentan dalam proses pengambilan keputusan,” kata Wahyu dalam keterangannya.

Respons Pemerintah: Kurang Mendukung Aksi Anak Muda?

Sayangnya, respons Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo dinilai belum mencerminkan semangat kolaborasi yang diharapkan.

Meskipun sempat mengapresiasi kepedulian generasi muda, Hasto mengkritik bahwa banyak organisasi pemuda hanya pandai berdiskusi namun tidak terlibat langsung di lapangan.

“Banyak organisasi hanya di awang-awang. Bumi tetap sepi,” ucap Hasto.

Ia menantang anak muda untuk aktif di tingkat komunitas seperti RW, misalnya lewat edukasi pemilahan sampah.

Namun pernyataan ini dianggap mengabaikan kenyataan bahwa banyak komunitas muda sudah melakukan aksi lokal tanpa dukungan nyata dari pemerintah.

Rose Merry menyayangkan tidak adanya dukungan program, fasilitasi, atau ruang kebijakan konkret dari pemerintah daerah.

“Kami datang membawa solusi, tapi justru hanya ditantang balik tanpa adanya komitmen konkret,” ujarnya.

Konsolidasi Gerakan Iklim Lintas Wilayah

Meski respons pemerintah masih kurang berpihak, semangat kolektif terus dikobarkan. Audiensi di Yogyakarta merupakan bagian dari gerakan yang lebih luas.

AYA Indonesia mengonfirmasi bahwa kegiatan serupa akan dilakukan di Aceh dan Kupang, sebagai bentuk aksi kolektif anak muda dalam memperjuangkan keadilan iklim di berbagai daerah.

Kegiatan ini turut diliput oleh media mahasiswa Presma Arena sebagai bagian dari strategi memperluas kesadaran publik, khususnya di kalangan generasi muda.

Pertemuan ini menegaskan pentingnya kemitraan sejajar antara komunitas muda dan pemerintah.

Dalam menghadapi perubahan iklim global, tidak cukup hanya menuntut perubahan dari masyarakat tanpa adanya kebijakan inklusif dan dukungan konkret dari pemerintah.

Kini saatnya mewujudkan sinergi antara komunitas, akademisi, dan pemerintah, untuk bersama-sama mengatasi krisis iklim yang mengancam masa depan.

Generasi muda telah mengambil langkah. Kini giliran pemegang kebijakan menunjukkan keseriusannya. Bumi tidak bisa menunggu. Masa depan ditentukan oleh aksi hari ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pembangunan Infrastruktur Sekolah Rakyat jadi Tonggak Pemerataan Pendidikan

Oleh: Didin Waluyo)* Komitmen pemerintahan Prabowo Subianto dalam mewujudkan akses pendidikanyang lebih merata terlihat semakin nyata. Pemerintah akhirnya menetapkanDesember 2025 sebagai titik awal pembangunan Infrastruktur Sekolah Rakyat.  Langkah ini dipandang sebagai dorongan baru untuk menegaskan bahwapendidikan tidak boleh menjadi hak istimewa bagi segelintir kelompok saja.Pembangunan ini juga menjadi sinyal kuat bahwa negara mulai menempatkankualitas dan aksesibilitas pendidikan sebagai prioritas utama.  Pembangunan infrastruktur ini masuk dalam pembangunan tahap II yang dilakukandi 104 lokasi di seluruh Indonesia. Dengan memulai proyek pada akhir 2025, pemerintah ingin memastikan bahwa percepatan pembangunan dapat segeradirasakan oleh masyarakat luas. Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengatakan, Pembangunan Sekolah Rakyat Adalah bentuk nyata komitmen pemerintah untuk membangunsumber daya manusia yang unggul. Ia menjelaskan bahwa Pembangunan tahap II dilakukan guna memperluas akses Pendidikan berkualitas bagi anak-anak darikeluarga kurang mampu.  Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian PU, total anggaran yang dialokasikan untuk percepatan pembangunan Sekolah Rakyat ini sebsar Rp20 triliun, yang mana biaya pembangunan diperkirakan Rp200 miliar per sekolah. Sementara itu 104 lokasi yang tersebar antara lain, 27 lokasi di Sumatera, 40 lokasidi Jawa, 12 lokasi di Kalimantan,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini