MATA INDONESIA, JAKARTA – Masalah rasisme di Amerika Serikat (AS) memang tidak pernah surut sejak awal negara itu berdiri. Menurut Mantan Gubernur Papua Freddy Numberi, umumnya kasus rasisme di AS tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dirancang untuk kepentingan politik maupun ekonomi.
Ia pun mengatakan, kasus rasisme George Floyd baru-baru ini adalah pemantik atas nama solidaritas diskriminasi warna kulit, baik di Amerika maupun di dunia.
“Minneapolis dapat dikatakan menjadi saksi bagaimana rasisme terus menggerus AS. Unjuk rasa mendapat simpati baik di AS maupun belahan dunia lainnya,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Jumat 12 Juni 2020.
Menurut Freddy, kematian Floyd telah memicu gelombang protes masyarakat di Amerika Serikat. Mereka melepaskan kemarahan lama yang membara atas bias rasial dalam sistem peradilan pidana AS.
“Ancaman orang kulit hitam di Minneapolis bukanlah virus yang menjadi pandemi, tetapi akar kekerasan pihak kepolisian,” katanya.
Mantan Menteri Perhubungan di era SBY ini menilai kasus Floyd pun lantas mendapat simpati di hati masyarakat Indonesia, khususnya di Papua. Namun, ia menilai dua kasus itu sebenarnya berbeda, meski ada persinggungan begitu dikaitkan dengan ketidakadilan, kesejahteraan, dan hak-hak masyarakat Papua dibandingkan dengan daerah lain.
Freddy pun mengingatkan bahwa Papua adalah satu-satunya koloni di Indonesia sejak 24 Agustus 1828 berdasarkan proklamasi Raja Belanda Willem I dimasukkan kedalam pemerintahan Hindia Belanda.
Koloni-koloni lainnya seperti Jawa, Sumatera dan lainnya adalah limpahan usaha dagang VOC kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia pada tanggal 31 Desember 1799, 146 tahun sebelum Indonesia merdeka.
“Orang Papua tidak didatangkan dari luar seperti orang Afrika yang didatangkan ke AS kemudian menjadi warga negara AS,” ujarnya menegaskan.
Ia juga mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar bisa meninggal warisan positif bagi masyarakat Papua di periode kedua kepemimpinannya. Pemerintah diharapkan untuk terus memperkokoh payung regulasi di bumi Cendrawasih agar persoalan ini tak terus digoreng, apalagi mendapat dukungan ‘angin sorga’ dari luar Papua.
“Jokowi harus bisa mengubah ‘memoria pasionis’ (ingatan penderitaan) warga Papua dengan ‘memoria felicitas’ (ingatan kebahagiaan). Itu legacy yang harus ditinggalkan Jokowi di tanah Papua,” katanya.
Freddy pun berharap agar para penasehat presiden tetaps meyakinkan Jokowi, bahwa pendekatan keamanan dan pemberangusan hak-hak sipil orang Papua tidak akan menyelesaikan masalah Papua secara tuntas.
“Pemerintah perlu menjamin Papua yang lebih aman, damai, sejahtera, dan demokratis tanpa diskriminasi,” ujarnya.