Minews.id, Kota Kupang – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional (Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif DPR-RI, dan DPD) dengan Pemilu Lokal (Pemilihan Kepala Daerah serta Pemilihan Legislatif DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) mulai 2029 mendatang, menuai kritikan dari Dr. John Tuba Helan, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.
Saat ditemui Minews.id di kediamannya, Jumat, 11 Juli 2025, Dr. John Tuba Helan menyatakan bahwa putusan MK tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 22E Ayat 1 dan 2.
“Pasal 22E Ayat 1 dengan sangat jelas mengatur bahwa Pemilu diadakan sekali dalam lima tahun. Lalu Ayat 2 menjelaskan bahwa yang dimaksud pemilu adalah memilih Presiden, anggota DPR-RI, anggota DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota,” tegas Dr. Helan.
Sebelumnya, MK juga pernah memutus untuk menggabungkan Pemilu presiden dan legislatif menjadi satu, sejalan dengan semangat konstitusi yang menghendaki pelaksanaan pemilu secara serentak dalam satu waktu. Namun, dengan putusan terbaru ini, MK justru memisahkan Pemilu nasional dan lokal.
Menurut Dr. Helan, putusan MK Nomor 135 membedakan Pemilu nasional yang mencakup Presiden, DPR-RI, dan DPD, serta Pemilu lokal yang melibatkan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pemisahan ini, kata Dr. Helan, menimbulkan persoalan serius.
“Secara sepintas, putusan MK Nomor 135 itu bertentangan dengan undang-undang dasar,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dr. Helan menyoroti penyertaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke dalam rezim pemilu lokal oleh MK. Padahal, secara regulasi, Pilkada diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang berbeda dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Ini juga sebenarnya menimbulkan persoalan bahwa sebenarnya, Pilkada itu kan tidak termasuk rezim Pemilu karena diatur dalam undang-undang tersendiri,” paparnya.
“Tapi MK justru membuat keputusan menggabungkan Pilkada di dalam rezim Pemilu yang masuk ke dalam kategori Pemilu lokal dan itu jadi persoalan,” tambahnya.
Persoalan lain yang diangkat Dr. Helan adalah jeda waktu antara Pemilu nasional dan lokal yang diatur dalam putusan tersebut, yaitu dua sampai dua setengah tahun. Artinya, setelah Pemilu nasional 2029, Pemilu lokal baru akan dilaksanakan sekitar 2031-2032.
“Soal jangka waktu ini juga menjadi persoalan kalau kita hubungkan dengan ketentuan undang-undang dasar yang mengatur bahwa Pemilu itu diadakan sekali dalam 5 tahun. Nah ini sudah menjadi tujuh setengah tahun atau 7 tahun, entah MK punya pertimbangan apa sehingga mengatur sampai di situ,” kritiknya.
Jeda waktu ini juga berpotensi menciptakan kevakuman jabatan di tingkat daerah. Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang terpilih pada 2024 akan berakhir masa jabatannya pada 2029 (khusus kepala daerah yang dilantik 2025 akan berakhir 2030).
“Selama masa itu siapa yang menduduki jabatan? Kalau kepala daerah dari dulu memang diangkat penjabat baik Gubernur, bupati, dan walikota. Tapi DPRD mau mengangkat penjabat bagaimana, tidaklah mungkin. Mereka kan dipilih secara langsung oleh rakyat dan jumlahnya banyak,” tukasnya.
Kondisi ini, menurut Dr. Helan, akan menghambat pembentukan produk hukum daerah karena hanya kepala daerah yang menduduki jabatan sementara DPRD kosong.
Dari sisi dampak geografis dan biaya, Dr. Helan menyatakan bahwa baik Pemilu digabung maupun dipisah, kebutuhan biaya tetap besar. Penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu akan tetap membutuhkan anggaran besar untuk sosialisasi, distribusi logistik, dan pengawasan. Begitu pula dengan para politisi yang akan membutuhkan biaya besar untuk kampanye.
“Dampaknya sama, memerlukan biaya untuk koordinasi, konsultasi, pengawasan, segala macam itu membutuhkan biaya yang banyak,” kata Dr. Helan.
Lebih lanjut, Ia juga menyoroti dinamika hukum ketatanegaraan Indonesia yang “tidak bisa ditata dengan baik” karena regulasi yang terus berubah-ubah. Ia menyebutkan berulang kalinya perubahan Undang-Undang Pemilu dan Pilkada sejak era reformasi.
“MK ini semacam membuat kegaduhan hukum, mulai dari pengujian usia calon presiden dan wakil presiden, menggabungkan Pilpres dan Pileg, dan sekarang ini melakukan pemisahan lagi antara Pemilu Nasional dan Pemilu lokal,” tegasnya.
Untuk menghindari polemik dan kegaduhan hukum di masa mendatang, Dr. John Tuba Helan dengan tegas menyarankan agar MK meninjau kembali putusan ini.
“Putusan MK ini walaupun bersifat final dan mengikat, MK sendiri perlu meninjau kembali putusan ini dan tidak ada lembaga lain yang bisa mengoreksi putusan ini,” sarannya.
Jika putusan ini dipaksakan, menurut Dr. Helan, para legislator (DPR dan Presiden) akan melanggar UUD 1945 karena Pasal 22E Ayat 1 dan 2 tidak perlu penafsiran karena pengaturannya sangat jelas.
Sebagai solusi jangka panjang, Dr. Helan mengusulkan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen UUD 1945 yang mengatur mengenai Pemilu secara lebih detail dan jelas. Tujuannya agar tidak ada lagi penafsiran yang “sesukanya” baik oleh MK maupun badan legislasi, serta untuk memastikan kejelasan mengenai lembaga-lembaga yang keanggotaannya dipilih oleh rakyat.
“Apabila pembenahan yang dilakukan di level undang-undang, maka persoalan kedepan akan terus terjadi,” tutupnya, menekankan pentingnya amandemen konstitusi untuk menata ketatanegaraan Indonesia secara lebih rinci dan jelas. (Nino)
