MATA INDONESIA, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjadi korban hoaks terkait peringatan tahun baru Islam 1443 H. Mereka dianggap tak menyampaikan ucapan selamat kepada umat Islam di tanah air.
Bahkan ada oknum tak bertanggungjawab membuat narasi bahwa tidak ada stasiun televisi baik milik negara maupun swasta yang memberitakan atau menayangkan ucapan dari Jokowi maupun dari Menag Gus Yaqut. Tak hanya itu, ada yang malah mengganggap Indonesia sudah menjadi negara komunis.
Hal ini mendapat kecaman keras dari Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens. Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, bukan teokrasi atau negara agama.
Ia juga menilai Presiden Jokowi sudah memperlihatkan sikap hormatnya kepada semua agama dan keyakinan yang ada di tanah air. Bahkan agama Islam selalu mendapat tempat yang spesial di mata presiden. Hal itu sudah ditunjukkan dengan sikap hidup, seluruh tutur kata dan perbuatannya sebagai pribadi maupun sebagai presiden.
“kalau ada yang membuat fitnah, itu hanya mainan politik untuk merusak citra presiden dan pemerintah. Yang melakukan active measures dengan penyebaran disinformasi dan agitasi adalah mereka yang menentang demokrasi. Siapapun presiden yang datang dari partai nasionalis akan mereka lawan,” ujarnya kepada Mata Indonesia, Kamis 12 Agustus 2021.
Boni juga menekankan bahwa Menag Gus Yaqut juga sosok nasionalis yang religius. Dia bertindak sebagai menteri agama untuk semua agama dan seluruh rakyat Indonesia. Dia bukan menteri salah satu agama saja.
“Saya heran kenapa model politik fitnah, hoaks, dan disinformasi macam ini masih laris. Mereka tentu bermain untuk agenda politik 2024 dan untuk agenda jangka panjang yaitu mendirikan sistem pemerintahan yang tidak sejalan dengan model demokrasi,” katanya.
Ia pun mengungkapkan bahwa hal ini adalah kerjaan buzzer yang anti pemerintah. Buzzers yang selalu menyerang pemerintah selama ini didominasi oleh kelompok populis sayap kanan. Kehadiran kelompok ini di Timur Tengah, sudah dianggap sebagai musuh demokrasi.
Menurut Boni, setelah Arab Spring yang bermula di Tunisia tahun 2010, mereka berkembang subur dan justru menjadi ancaman bagi banyak demokrasi di sana karena gerakan politik mereka yang anti demokratik.
“Kita tidak ingin Indonesia menjadi seperti Suria, Mesir, dan sebagainya di mana kelompok populis sayap kanan ini sempat melakukan aksi kekerasan yang mengancam tatanan demokrasi di sana,” ujarnya.