MINEWS, JAKARTA – 10 tahun lalu harga Bahan Bakar Minyak (BBM), seperti premium menyentuh level 70.000 rupiah per liter di Papua. Mahalnya harga tersebut terus berlanjut hingga bertahun-tahun lamanya.
Kini di 2019, harga BBM premium di Papua sudah berhasil disamakan dengan di Pulau Jawa, yaitu 6.500 rupiah per liter. Begitu pun solar disamakan di level 5.150 rupiah per liter.
Lantas apa sejauh ini kebijakan BBM satu harga ini cukup efektif bagi masyarakat Papua?
Menanggapi hal Ini, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa untuk mengukur efektif atau tidak perlu dalam jangka waktu yang lebih panjang dan dengan indikator lebih banyak.
“Kalau hanya melihat indikator harga tentu efektif karena setelah kebijakan ini dikeluarkan harga BBM di Papua juga ikut turun,†ujar dia kepada Mata Indonesia News, Rabu 21 Agustus 2019.
Selanjutnya dari sisi inflasi, Kata Yusuf, jika dilihat selama 3 tahun terakhir juga mengalami tren menurun khususnya di kota-kota besar seperti Jayapura dan Merauke. Di Jayapura misalnya, inflasi bulan Juni 2016 sebesar 1,78 persen. Di 2017 turun ke 1,02 persen. Di 2018 naik sedikit ke 1,07 persen. Sementara di 2019 kembali turun menjadi 0,08 persen.
“Namun sekali lagi ukuran untuk inflasi ini terlalu pendek,†ujar dia.
Kemudian Yusuf mengatakan bahwa karena program BBM satau ini menjadi tanggung jawab Pertamina, maka peningkatan kordinasi antara pemerintah dan Pertamina menjadi penting.
Khususnya untuk mengantisipasi kewajiban kontinjensi harga minyak pada APBN.
Hal ini untuk mengexercise apakah pemerintah perlu menambah anggaran untuk kebijakan 1 harga BBM. Ditambah mengantisipasi gejolak geo politik yang akan mempengaruhi harga minyak.
Di samping itu, menurutnya pola distribusi minyak juga perlu diperhatikan seperti misalnya pengiriman minyak ke Papua tentu harus dari daerah yang lebih berdekatan. Lalu soal cadangan minyak nasional, Yusuf memperkirakan cadangannya diperkirakan masih akan cukup sampa 11 hingga 12 tahun ke depan.
“Kita impor minyak karena kita tidak memproduksi minyak sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Untuk strategi saya pikir Indonesia perlu menambah investasi kilang minyak baru dan revitalisasi kilang minyak lama. Hal ini untuk mengantisipasi permintaan minyak ke depannya,†ujar dia.