Bukan HUT OPM, 1 Desember Adalah Pengakuan Papua Lepas dari Belanda

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAYAPURA – Pemerhati Papua Prof. Imron Cotan menjelaskan terkait polemik tanggal 1 Desember yang kerap dijadikan sarana propaganda oleh kelompok separatis Papua untuk menghembuskan isu kemerdekaan Papua Barat atau HUT OPM.

Dirinya menegaskan bahwa pengibaran bendera 1 Desember 1961 sebagai hari kemerdekaan Papua Barat adalah ilusi belaka.

“1 Desember sebagai kemerdekaan Papua Barat hanyalah ilusi belaka. Tidak ada bukti nyata baik secara teoritis hukum internasional maupun historis. Jadi, masyarakat jangan ada yang terprovokasi dengan berita negatif tentang Papua. Mari kita ciptakan kedamaian di tanah Papua untuk generasi mendatang yang maju,” ujarnya di Jakarta, dikutip Rabu 1 Desember 2021.

Ia lalu menjelaskan bahwa kala itu Papua tak ingin melepaskan Papua. Waktu itu Belanda ingin menjaga status quo sebagai negara penjajah yang sejajar dengan Inggris, Spanyol, Belgia.

Belanda ingin menjadikan Papua sebagai sanctuary, yaitu wilayah perlindungan bagi kolaborator atau keluarga keturunan Belanda yang tidak ingin kembali ke Belanda.

“Pasalnya, Belanda sebagai negara kecil tidak bisa menampung,” katanya.

Ia juga menegaskan bahwa narasi terkait kemerdekaan Papua Barat tak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Menurutnya, berdasarkan konvensi Montevideo tahun 1933 menyebutkan, syarat diakuinya negara adalah memiliki penduduk yang tetap, wilayah tertentu, adanya pemerintah dan kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain.

Bahkan, lanjutnya, berdasarkan UU sebuah pemerintah daerah tidak bisa melakukan kegiatan yang hanya dilakukan pemerintah pusat. Diantaranya pengamanan,pajak, urusan agama, menjalankan perjanjian atau hubungan internasional.

“Jadi, dengan UU ini semua terbantahkan. Papua adalah bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI,” ujarnya.

Sementara Dosen Fakultas Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM Arie Ruhyanto mengungkapkan bahwa dengan adanya gerakan separatisme di Papua justru menimbulkan masalah di antaranya kasus tindak kekerasan.

Ia mengungkapkan, terjadi peningkatan kasus kekerasan mulai dari tahun 2020 sebanyak 65 kasus, tahun 2021 sebanyak 74 kasus kekerasan. Sedangkan korban yang meninggal sebanyak 422 orang dengan jumlah 68 persen warga sipil.

“Perlu diwaspadai kelompok separatisme ini melakukan propaganda melalui medsos, media, penulisan akademik, lirik lagu dan lainnya. Adanya kelompok bersenjata di Papua menunjukkan bahwa adanya yang mengorganisir dari Luar Negeri,” katanya.

Dirinya menambahkan, dari kajian beberapa negara, di antaranya memenuhi permintaan separatis adalah hal yang tidak berlaku di Indonesia.

Untuk itu, ia mendukung upaya pemerintah yang memperhatikan kelompok minoritas Papua dan memberi ruang. Menurutnya, saat ini peluang atau ruang bagi orang Papua sangat luas seperti bidang Pendidikan adanya beasiswa, jabatan publik, dan lainnya.

“Dana Otsus adalah salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan di Papua. Pemekaran daerah di Papua juga bagian solusinya. Mengedepankan dimensi rasional bagaimana pembangunan bukan fisik saja. Tapi, mengedepankan nilai keadilan, kesetaraan, perlindungan dan penghargaan,” ujarnya.

Sementara terkait kehadiran militer di Papua sebagai bagian upaya menghadirkan kenyamanan dan keamanan.

“Diharapkan dengan adanya inisiatif pembangunan yang mengedepankan dimensi rasional mampu menenangkan hati orang Papua,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Belum Ada Turunan PP soal Penghapusan Hutang UMKM, Pemda DIY bakal Observasi Bareng OJK

Mata Indonesia, Yogyakarta - Peraturan Pemerintah nomor 47 Tahun 2024 terkait Penghapusan Piutang Macet bagi UMKM telah ditandatangani Presiden RI, Prabowo Subianto.
- Advertisement -

Baca berita yang ini