MATA INDONESIA, JAKARTA-Inovasi terus dikembangkan oleh para generasi penerus muda Indonesia. Terbaru, empat mahasiswa Politeknik Negeri Malang membuat alat detektor kandungan daging babi, boraks, formalin, dan pewarna tekstil sintetik pada makanan melalui Program Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta (PKM-KC).
Keempat mahasiswa itu bernama Nita Uswatun Chasanah Fauziah dan Putra Muara Siregar dari Program Studi Diploma III Teknik Kimia, serta Adian Ilham Ramadhan (Program Studi Diploma III Teknik Telekomunikasi) dan Pranda Prasetyo dari Program Studi Diploma IV Teknik Elektronika. Di bawah bimbingan dosen Christyfani Sindhuwati, pembuatan dan pengembangan alat dipusatkan di Laboratorium Kimia Dasar dan Analisa Instrumental Gedung AQ Politeknik Negeri Malang.
“Alat kami beri nama Bortiks, singkatan dari babi boraks formalin pewarna tekstil,” kata Nita Uswatun Chasanah Fauziah salah satu mahasiswa pencipta alat tersebu.
Dia menambahkan, alat tersebut dibuat sejak Mei lalu dan ditargetkan selesai September nanti,” katanya.
Menurut Nita, pembuatan Bortiks juga dilatarbelakangi kemunculan pandemi Covid-19 dan kebijakan penanggulangannya. Adanya pembatasan kegiatan masyarakat dan operasional rumah makan dikhawatirkan memicu persaingan pasar yang sengit.
Skenario buruk yang dibayangkan Nita dkk sebagian pedagang bertindak curang dengan memakai bahan pengawet berbahaya seperti boraks dan formalin, serta pewarna tekstil sintetik pada makanan.
Boraks dan formalin membuat makanan bisa bertahan lama. Sedangkan pewarna tekstil berharga murah tapi efektif untuk membuat warna makanan estetik dan tampak segar.
Jadi, kata Nita, pembuatan Bortiks juga bertujuan membantu masyarakat mengenali makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan, serta gangguan kronis pada tubuh.
“Penjual makanan yang tidak mau rugi akibat kerusakan produk bisa terpicu melakukan kecurangan dengan menggunakan pengawet berbahaya seperti boraks dan formalin,” ujar Nita.
Nita menerangkan, Bortiks bekerja mendeteksi kandungan boraks dan formalin, serta daging babi dan turunannya. Bortiks tersusun dari dua sensor, yaitu sensor gas MQ-138 dan sensor warna TCS3200.
Menurut Nita, teknologi Bortiks mempunyai beberapa keunggulan untuk mendeteksi kandungan daging babi, boraks, formalin, dan pewarna tekstil buatan pada makanan. Bobot Bortiks ringan sehingga gampang dipindahkan dan dipegang. Output berbentuk visual berwarna LED dan juga dari LCD, dengan proses pendeteksian yang relatif cepat.
Disebut relatif cepat karena Nita dan timnya belum mengkalkulasi data kecepatan Bortiks selain berdasarkan literatur spesifikasi sensor. Berdasarkan literatur, “Untuk bagian sensor warna waktu ujinya sekitar 5 menit sudah ke luar hasilnya. Secara umum, kami menargetkan kemampuan deteksi Bortiks di bawah 1 jam,” ujar Nita.
Nita dan kawan-kawan bertekad terus mengembangkan kemampuan Bortiks agar bisa dipatenkan. Saat ini mereka sedang berencana mempublikasikan temuan mereka lewat Jurnal Destilat terbitan Politeknik Negeri Malang maupun jurnal ilmiah di luar kampus mereka.
Christyfani Sindhuwati alias Titi, dosen pembimbing, mengatakan PKM-KC merupakan salah satu hajatan tahunan paling ditunggu mahasiswa. Sebagai ajang penerapan hardskill dan softskill, selama pelaksanaan PKM para mahasiswa berlomba memeragakan kemampuan terbaik mereka.
“Saya berharap Nita dan kawan-kawan dapat memberikan performa terbaik dalam pengembangan Bortiks supaya lebih inovatif dan bermanfaat besar bagi masyarakat,” kata Titi.