Mata Indonesia, Yogyakarta – Transisi kepemimpinan di Indonesia banyak menuai kontroversi dari sebagian masyarakat, terkhusus Kota Yogyakarta. Sana Ullaili selaku Ketua Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta yang aktif turut serta pada aksi-aksi bersama Aliansi Jaringkan Gugat Demokrasi atau sering disebut Aliansi Sejagad menyampaikan penilaiannya terhadap Aksi Parade Pengadilan Rezim di Kota Yogyakarta, (20/10/2004).
Sana Ullaili selaku akifis Kinasih memberikan penjelasan bahwa Aksi Parade Pengadilan Rezim yang dilakukan Aliansi Sejagad di Kawasan Titik Nol Kilometer memang sengaja digelar untuk melakukan penegasan sikap politik organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta terkait dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih dan selesainya rezim sebelumnya yang telah berkuasa selama 10 tahun.
Kemudian mengukuhkan bahwa berbagai forum yang tergabung didalamnya memiliki maksud untuk melakukan edukasi dan didik kritis pada hari pertama Presiden yang baru berkuasa, sehingga diharapkan banyak massa dari lintas generasi dapat terpapar oleh narasi yang disampaikan.
Pihaknya menyampaikan bahwa dalam 10 tahun masa rezim Jokowi, banyak melakukan berbagai macam pelanggaran konstitusi. Berbagai macam produk kebijakannya yaitu Proyek Strategis Nasional (PSN) sampai saat ini tidak ada partai politik (parpol) dan legislatif yang berani menolaknya, maka yang terjadi adalah peminggiran hak-hak untuk bersuara. ¨Semakin kita lihat secara jelas selama beberapa tahun terakhir memimpin menunjukkan kuasanya, bukannya memberantas nepotisme, tetapi justru sebaliknya.
Hal tersebut telihat jelas dari pemberian fasilitas berupa jalan menuju ke walikota, jalan menuju gubernur, jalan menuju puncak-puncak pimpinan yaitu wakil presiden kepada anaknya. Aksi tersebut juga untuk menegaskan kepada kita bahwa korupsi semakin tumbuh subur dengan melemahkan berbagai macam kebijakan, diantaranya pelemahan Undang-Undang Korupsi, pelemahan institusi korupsi, dan korupsi tidak lagi dijadikan sebagai target politik. Hal itu disebabkan karena sibuk memenuhi target politik konstituen dan oligarkinya¨, ujar Sana Ullaili.
Menurutnya berbagai macam politisasi pencitraan, contohnya bantuan sosial (bansos) yang harusnya memang menjadi hak rakyat karena bersumber dari uang rakyat, tetapi dipolitisasi dan diserahkan menjadi kebaikan figur. Bukan sebab dalam konteks hak yang sesungguhnya, tetapi menjadi polesan politik tentang betapa pedulinya sosok tersebut padahal sebenarnya tidak seperti itu.
¨Saat ini Indonesia tidak lagi bisa berharap kepada siapapun karena semua partai bersepakat untuk mendukung rezim yang diteruskan oleh pemimpin yang baru. Semua mengetahui organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang menjadi tumpuan akhir dari proses untuk melakukan pengkritisan terhadap kebijakan, faktanya sekarang semua sudah merapat kepada rezim yang ada. Maka satu-satunya jalan adalah berkonsolidasi, berkoordinasi menyatukan diri untuk membangun oposisi kritis sehingga rezim ke depan betul-betul di bawah kontrol rakyat bukan di bawah kontrol oligarki,¨ tegas Sana.