AS Ketahuan Danai Penelitian Virus Corona di Wuhan

Baca Juga

MATA INDONESIA, WASHINGTON – Sejumlah kritikus menuduh pakar penyakit menular terkemuka di Amerika Serikat (AS), Dr. Anthony Fauci melakukan kebohongan. Pernyataan ini hadir menyusul dokumen yang baru dirilis bertentangan dengan klaim sang dokter bahwa Institut Kesehatan Nasional tidak mendanai penelitian keuntungan-fungsi di laboratorium Wuhan China.

Senator Rand Paul memimpin kritik terhadap Fauci setelah dokumen tersebut merinci pekerjaan EcoHealth Alliance –sebuah organisasi yang berbasis di Negeri Paman Sam dan memiliki spesialisasi dalam perlindungan terhadap penyakit menular, dan pekerjaannya dengan mitra dari Cina pada virus corona, khususnya yang berasal dari kelelawar.

“Kejutan kejutan, Fauci berbohong lagi. Dan saya benar tentang agensinya yang mendanai penelitian novel Coronavirus di Wuhan,” kicau Senator Rand Paul dalam akun Twitter-nya setelah dokumen tersebut dipublikasikan.

“Saya sudah meminta DOJ (Departemen Kehakiman AS) untuk meninjau kesaksian Fauci karena berbohong kepada Kongres. Laporan ini harus memperjelas bahwa dia perlu dimintai pertanggungjawaban,” sambungnya, melansir New York Post.

Proposal hibah yang termasuk dalam dokumen adalah untuk sebuah proyek berjudul “Memahami Risiko Munculnya Virus Corona Kelelawar,” yang melibatkan penyaringan ribuan sampel kelelawar, serta orang-orang yang bekerja dengan hewan hidup, untuk virus corona baru, kata outlet itu.

Dalam makalah tersebut terungkap bahwa EcoHealth Alliance diberikan total 3,1 juta USD oleh pemerintah AS untuk periode lima tahun antara 2014 dan 2019. Dan dana sebesar 599 ribu USD dialirkan ke Institut Virologi Wuhan untuk penelitian virus corona kelelawar.

Dana yang diterima di Wuhan sebagian digunakan untuk mengidentifikasi dan secara genetik mengubah virus corona kelelawar yang mungkin menginfeksi manusia.

Presiden EcoHealth Alliance, Peter Daszak memimpin salah satu penelitian, berjudul ‘Memahami Risiko Munculnya Virus Corona Kelelawar’, yang menyaring ribuan kelelawar untuk virus corona baru. Penelitian ini juga melibatkan penyaringan orang-orang yang bekerja dengan hewan hidup.

“Pekerjaan lapangan melibatkan risiko tertinggi terpapar SARS atau CoV lainnya saat bekerja di gua dengan kepadatan kelelawar yang tinggi di atas kepala dan potensi debu tinja untuk terhirup,” demikian pernyataan proposal tersebut.

“Dalam proposal ini, mereka sebenarnya menunjukkan bahwa mereka tahu betapa berisikonya pekerjaan ini. Mereka terus berbicara tentang orang yang berpotensi digigit – dan mereka menyimpan catatan semua orang yang digigit,” ujar Alina Chan, ahli biologi molekuler di Broad Institute, di AS, kepada The Intercept sebagai tanggapan atas rilis tersebut.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini