Aksi Intoleran Dihukum, The Economist Justru Turunkan Indeks Demokrasi Indonesia

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Pemerintah Jokowi berkomitmen kuat merawat demokrasi karena akan menyelamatkan Indonesia yang majemuk, meski Majalah The Economist mencatat indeks demokrasi Indonesia turun di tahun 2020. Menurut Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani, saat itu pemerintah sedang gencar melakukan penegakkan hukum terhadap aksi intoleransi yang membahayakan ideologi negara.

“Menguatnya intoleransi perlu direspons melalui langkah penegakan hukum yang menjadi identitas negara demokrasi yaitu rule of law,” ujar Jaleswari kepada Mata Indonesia News yang dikutip Sabtu 7 Februari 2021.

Menurutnya, pemerintah tidak ingin di tengah masyarakat berkembang ideologi yang membahayakan keberlangsungan negara, marak intoleransi, dan berbagai ekpresi radikalisme.

Selain itu, di tengah pandemi Covid19, pemerintah membutuhkan efektivitas pemerintahan dan terjaganya stabilitas untuk keluar dari berbagai masalah yang ditimbulkannya.

Penilaian sepintas, proses tersebut tentu akan mempengaruhi penilaian publik tentang demokrasi kita, tapi itu sesungguhnya justru pilihan tepat agar demokrasi tetap hidup dan keluar dari situasi sulit yang dihadapi.

Jadi, terlepas dari angka indeks demokrasi yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat penurunan, pemerintah berkomitmen kuat merawat demokrasi yang akan menyelamatkan negara dan Indonesia yang plural.

Demokrasi merupakan sebuah pergerakan yang harus dijaga bersama-sama. Indek demokrasi yang ada menjadi catatan untuk melakukan evaluasi dan mengambil kebijakan strategis atas aspek-aspek yang perlu diperbaiki.

EIU melalui laporan yang berjudul “Democracy Index 2020: in Sickness and in Helath?” menempatkan Indonesia pada peringkat 64 secara global, 11 di regional Asia dan Australia.

Indonesia mendapat skor 6,48 dan digolongkan pada kategori demokrasi yang belum sempurna (flawed democracies).

EIU menggolongkan 4 (empat) kategori yaitu demokrasi penuh (full democracies), demokrasi belum sempurna (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regimes), dan rezim otoritarian (authoritarian regimes).

Jaleswari menegaskan Indonesia sampai saat ini terus berjuang agar tidak merosot pada kondisi yang lebih buruk. Pemerintah berusaha agar negara ini tidak jatuh pada rezim hibrida atau otoriter.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pembangunan Infrastruktur Sekolah Rakyat jadi Tonggak Pemerataan Pendidikan

Oleh: Didin Waluyo)* Komitmen pemerintahan Prabowo Subianto dalam mewujudkan akses pendidikanyang lebih merata terlihat semakin nyata. Pemerintah akhirnya menetapkanDesember 2025 sebagai titik awal pembangunan Infrastruktur Sekolah Rakyat.  Langkah ini dipandang sebagai dorongan baru untuk menegaskan bahwapendidikan tidak boleh menjadi hak istimewa bagi segelintir kelompok saja.Pembangunan ini juga menjadi sinyal kuat bahwa negara mulai menempatkankualitas dan aksesibilitas pendidikan sebagai prioritas utama.  Pembangunan infrastruktur ini masuk dalam pembangunan tahap II yang dilakukandi 104 lokasi di seluruh Indonesia. Dengan memulai proyek pada akhir 2025, pemerintah ingin memastikan bahwa percepatan pembangunan dapat segeradirasakan oleh masyarakat luas. Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengatakan, Pembangunan Sekolah Rakyat Adalah bentuk nyata komitmen pemerintah untuk membangunsumber daya manusia yang unggul. Ia menjelaskan bahwa Pembangunan tahap II dilakukan guna memperluas akses Pendidikan berkualitas bagi anak-anak darikeluarga kurang mampu.  Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian PU, total anggaran yang dialokasikan untuk percepatan pembangunan Sekolah Rakyat ini sebsar Rp20 triliun, yang mana biaya pembangunan diperkirakan Rp200 miliar per sekolah. Sementara itu 104 lokasi yang tersebar antara lain, 27 lokasi di Sumatera, 40 lokasidi Jawa, 12 lokasi di Kalimantan,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini