Dana BLBI, Awal Sejarah Kelam Indonesia

Baca Juga

MINEWS.ID, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini membuka kembali penyidikan kasus dugaan korupsi pemberian dana talangan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka konglomerat Sjamsul Nursalim. Kasus tersebut sejatinya merupakan bagian awal sejarah kelam ekonomi Indonesia yang membuat kekuatan negeri ini berada di titik nadir.

Awalnya adalah ketidakpercayaan para pemilik uang yang menguras habis simpanannya di seluruh bank setelah ekonomi Indonesia tidak kuat menahan hantaman krisis keuangan global pada 1997.

Begitu lemahnya Indonesia waktu itu, hingga tidak berkutik ketika lembaga multilateral IMF menekan pemerintah untuk menyelamatkan 48 bank termasuk milik Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, dari krisis likuiditas.

Maka dibuatkanlah skema yang berbeda dari penanganan bank collaps biasa. Jika menangani satu dua bank yang collaps Bank Indonesia (BI) biasanya menggunakan fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), namun menyelamatkan 48 bank sekaligus Pemerintah Soeharto terpaksa menyetujui pemberian fasilitas dari IMF yang diberinama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank termasuk milik Keluarga Prabowo Subianto, Bank Papan Sejahtera yang dikelola Hashim Djojohadikusumo dan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.

Selain itu, ada Bank Central Asia (BCA) milik Anthoni Salim (yang juga memiliki Indofood), Bank Umum Nasional milik Mohamad ‘Bob’ Hasan, Bank Surya milik Sudwikatmono, dan Bank Yakin Makmur milik Siti Hardiyanti Rukmana.

Begitu juga, Bank Nusa Nasional milik Nirwan Bakrie, dan Bank Risjad Salim Internasional milik Ibrahim Risjad.

Parahnya, 95 persen dana talangan tersebut tidak digunakan untuk menyehatkan bank masing-masing. Lebih banyak dana itu “diparkir” lagi di bank-bank luar negeri karena bunganya jauh lebih menarik.

Selain itu, banyak pemilik bank seolah-olah menggunakan dana tersebut untuk ekspansi kredit. Namun, hanya disalurkan ke kelompok usahanya sendiri sehingga saat macet para founder bank sekalipun seperti tutup mata untuk mengatasinya.

Alih-alih pemberian dana talangan itu menyehatkan ekonomi Indonesia, petaka lah yang menghancurkan sendi-sendi ekonomi kita. Pada gilirannya kehancuran ekonomi itu merembet menjadi kerusuhan sosial yang tidak pernah bisa kita lupakan sampai puncaknya Pak Harto harus lengser dari jabatan Presiden.

Menurut audit BPK penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut telah terjadi indikasi penyimpangan senilai Rp 138 triliun.

Kasus penyelewengan dana BLBI itu sempat ditangani Kejaksaan Agung sekitar tahun 2008. Namun hanya beberapa saja yang lanjut ke pengadilan. Beberapa lainnya seperti Sjamsul Nursalim dihentikan penyidikannya tanpa alasan jelas hingga pemilik Kelompok Usaha Gajah Tunggal tersebut dengan enaknya melenggang ke luar Indonesia dan tak terjamah hukum.

Tak lama berselang KPK menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan, ketua tim jaksa penyelidik BLBI yang menerima suap dari Artalyta Suryani, orang dekat Sjamsul.

Pada 2014 saat Ketua KPK dipegang Abraham Samad penyelidikan kasus itu dimulai. Namun baru tiga tahun kemudian KPK menetapkan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin Tumenggung sebagai tersangka kasus tersebut.

Syafruddin dituding memberi fasilitas Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim sebagai pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) sehingga menjadi alasan bagi Kejaksaan Agung menghentikan kasusnya.

Beberapa hari lalu, KPK melanjutkan kasus tersebut dengan alasan Syafruddin yang sudah divonis hakim telah menguntungkan Sjamsul dalam pemberian BLBI tersebut.

Berita Terbaru

Pemerintah Pastikan Operasi Pengamanan Jelang Tahun Baru 2025 Berjalan Lancar

JAKARTA - Menjelang perayaan Tahun Baru 2025, pemerintah bersama aparat terkait telah mempersiapkan berbagai langkah untuk memastikan keamanan dan...
- Advertisement -

Baca berita yang ini