14 Rumah Tergusur di Lempuyangan, Potret Luka Agraria Jogja yang Tak Kunjung Sirna

Baca Juga

Mata Indonesia, Yogyakarta – Konflik antara warga Kampung Tegal Lempuyangan yang telah menempati 14 rumah peninggalan Belanda dengan PT KAI, serta melibatkan pihak Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat sebagai pemilik lahan, mengungkap fakta penting tentang lemahnya posisi rakyat dalam sistem hukum agraria di DIY.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, hak rakyat terhadap tanah yang telah ditempati dan dirawat puluhan tahun sering kali bergantung pada kebijakan sepihak dan belas kasihan pihak keraton.

Pemerhati Agraria, Antonius Fokki Ardiyanto mengatakan banyak warga yang telah menempati lahan tersebut secara turun-temurun.

“Nah mereka ini tidak memahami asal-usul hukum kepemilikan tanah, terutama karena sejarah panjang republik ini sebelum merdeka pada 17 Agustus 1945,” ungkap Fokki melalui keterangan tertulisnya, Kamis 15 Mei 2025.

Fokki berpendapat, sebelum kemerdekaan, wilayah Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan yang kemudian dijajah oleh berbagai kekuatan asing seperti VOC, Belanda, Inggris, Portugis, hingga Spanyol.

Di antara kerajaan-kerajaan tersebut, hanya Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang secara administratif diakui sebagai daerah istimewa karena kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan, yang kemudian menjadi bagian dari DIY.

Status hukum DIY sebagai daerah istimewa dimulai sejak Maklumat 5 September 1945 tentang bergabungnya Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia.

Perjalanan hukum ini kemudian diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Keistimewaan DIY tahun 2012, yang menjadi titik balik penting. Karena sebelumnya muncul wacana pemilihan gubernur DIY oleh rakyat, yang dianggap berpotensi menghapus keistimewaan daerah tersebut.

Melalui UU Keistimewaan tersebut, Kraton Yogyakarta dan Pakualaman mendapatkan pengakuan atas hak kepemilikan dan pengelolaan tanah, termasuk penggunaan peta historis sebagai dasar klaim hukum atas tanah-tanah tertentu.

Namun, hal ini menimbulkan persoalan serius ketika tanah yang selama ini dirawat dan dihuni rakyat justru diberikan kepada pihak lain yang tidak pernah memanfaatkannya.

“Hak-hak warga negara Indonesia sekaligus kawulo dalem (warga tradisional kraton) menjadi terabaikan tanpa adanya jaminan hukum yang jelas,” ujar dia.

Sebagai warga negara, rakyat memiliki landasan konstitusional melalui UUD 1945. Namun, dalam konteks pengelolaan tanah di DIY yang mengacu pada UU Keistimewaan dan bukan pada UU Pokok Agraria (UUPA) 1960, terjadi tumpang tindih aturan.

Hingga kini, belum ada ketentuan dalam UU Keistimewaan, Peraturan Daerah Istimewa (Perdais), maupun Peraturan Gubernur yang memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang telah menempati dan merawat tanah tersebut.

Tidak ada mekanisme yang mengatur hak rakyat apabila tanah tersebut dialihkan kepada pihak ketiga oleh Keraton, meskipun warga telah tinggal di sana selama puluhan tahun.

“Kekosongan hukum inilah yang perlu segera diatasi untuk mencegah konflik agraria berkepanjangan di Yogyakarta,” ungkap Fokki membeberkan fakta.

Jika tidak segera ditangani, hal ini dapat berkembang menjadi konflik sosial dan politik terbuka antara rakyat, Keraton, dan pihak ketiga.

Yang lebih memprihatinkan, kondisi ini bisa berujung pada proses pemiskinan rakyat secara struktural yang bertentangan dengan tujuan kemerdekaan Indonesia, yaitu memajukan kesejahteraan umum.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Wapres Gibran Sah dan Konstitusional, Narasi Pemakzulan Tidak Relevan

Oleh : Rizky Aditya Nugraha )* Dalam sistem demokrasi konstitusional, legitimasi kekuasaan eksekutif sepenuhnya bersandar pada kehendak rakyat dan proses hukum yang berlaku....
- Advertisement -

Baca berita yang ini