MATA INDONESIA, JAKARTA-Yogyakarta banyak menyimpan perjalanan sejarah mengenai Indonesia. Salah satunya, kota gudeg ini pernah dijadikan ibu kota negara Indonesia pada 4 januari 1946 hingga 17 Desember 1949.
Perjalanan perpindahan ibu kota Jakarta ke Yogyakarta itu tidak mudah. Semua itu berawal tentara sekutu yang datang ke Indonesia pada 16 September 1945. Tujuan kedatangan tentara sekutu adalah melucuti dan memulangkan tentara Jepang serta membebaskan para tawanan perang.
Kedatangan Sekutu ternyata diboncengi tentara Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) Belanda yang ingin kembali menegakkan kekuasaan jajahannya di Indonesia.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya ketegangan antara rakyat Indonesia yang sudah menyatakan kemerdekaan dengan Belanda yang menganggap Indonesia masih wilayah kekuasaan jajahannya
Pada akhir 1945 situasi kota Jakarta menjadi sangat kacau. NICA Belanda kembali membuka kantor di bawah kendali H.J van Mook, Belanda bersikeras menguasai ibu kota Republik Indonesia ini kembali.
Tindakan penculikan dan upaya pembunuhan terhadap sejumlah pemimpin Republik yang baru seumur jagung kerap terjadi. Mobil Perdana Menteri Sutan Sjahrir, misalnya, pada 26 Desember 1945 dikejar segerombolan orang bersenjata yang menggunakan truk. Sjahrir nyaris saja terbunuh.
Presiden Soekarno pun tidak luput dari gangguan ini, beberapa kali ia mendapat ancaman dan teror. Situasi Jakarta yang semakin memburuk dan tidak menentu membuat Presiden Soekarno menggelar rapat terbatas pada 1 Januari 1946 malam di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Dari hasil rapat terbatas, ada usulan mengendalikan Negara dari daerah. Saat itu Yogyakarta dipilih menjadi alternatif.
Pada saat yang hampir bersamaan tepatnya pada 2 Januari 1946 Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibu kota Negara RI dipindah ke Yogyakarta.
Tawaran Sultan diterima oleh Soekarno. Presiden Soekarno pun menegaskan kembali apakah Yogyakarta sanggup menerima pemerintahan RI. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyanggupi permintaan Soekarno tersebut.
Pada 3 Januari 1946, rombongan Soekarno-Hatta dan para menteri kabinet RI dengan menggunakan Kereta Api Luar Biasa (KLB) secara diam-diam meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta sebagai kota tujuan.
Pemberangkatan dimulai dari belakang rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur No.56. Sebanyak 15 pasukan khusus disiapkan untuk mengawal para tokoh bangsa. Selama 15 jam perjalanan, pengawalan serta pengamanan diperketat, akhirnya pada Jumat 4 Januari 1946.
Terkait kepindahan kedua pimpinan Negara tersebut, maka pada malam harinya, Wakil Menteri Penerangan RI, Mr. Ali Sastroamidjojo dalam siaran RRI mengumumkan secara resmi pemindahan pemerintahan RI ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Alasan pemindahan ibu kota tersebut karena keadaan Jakarta tidak aman, sementara fasilitas di Yogyakarta cukup memadai untuk dijadikan ibu kota, sebab kota ini memiliki sistem pemerintahan yang telah terorganisir cukup baik.
Disamping itu pula, secara de facto dan de jure Yogyakarta merupakan wilayah kedaulatan RI. Dengan demikian, sejak tanggal 4 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi ibu kota Republik, dan perjuangan melawan Belanda diteruskan dari kota ini. Presiden kemudian berkantor di Gedung Agung yang terletak di seberang bekas benteng Kompeni Vredeburg.