MATA INDONESIA, MALANG – Wildan Fauzi Bahriza masih berusia 22 tahun ketika bergabung dengan kelompok militan ISIS di Suriah pada Juni 2013 lalu.
Dia merupakan salah-satu generasi pertama dari Indonesia yang berangkat ‘berjihad’ ke negara itu.
Kepada BBC yang mewawancarainya di pondokan miliknya di pinggiran Kota Malang, Wildan mengaku saat itu dirinya masih muda, semangat dan mengutamakan adrenalin daripada berpikir secara jernih. ”Semangat itu meluap-luap, apapun akan saya lakukan,” kata sarjana strata satu bidang informatika di sebuah perguruan tinggi swasta di Malang, Jatim ini.
Pria kelahiran Pasuruan, 17 Juni 1991 ini nekad berangkat ke Suriah setelah bertemu anggota ISIS asal Pasuruan dan tinggal di Malang, Abu Jandal. Menurut Wildan, proses keberangkatan dirinya ke Suriah sangat sederhana.
Ketertarikan dirinya menjadi anggota ISIS, selain dorongan adrenalin, anak kelima dari enam bersaudara asal kota kecil Bangil, Jatim, ini mengaku semenjak kecil gampang tersentuh ketika bersentuhan dengan isu kemanusiaan.
Dalam situasi seperti itu, Wildan mendapat informasi dari sosial media seputar konflik Ambon, perang Afghanistan, Irak, hingga Suriah. Ia mengaku setelah banyak mendapatkan informasi ini merasa ‘terpanggil’ untuk berangkat ke Suriah atas nama persaudaraan sesama muslim. ”Saya melihat video-video anak-anak kecil yang kehilangan orang tuanya di Suriah,” ujarnya.
Setelah tiba di Suriah pada September 2013, Wildan dan sekitar sembilan orang WNI — di antaranya Abu Jandal yang merekrutnya — dikirim ke kamp militer. Dua minggu kemudian, mereka dipersenjatai. ”Kami ditaruh di front-front pertempuran dan ikut bertempur,” katanya.
Wildan mengaku nyaris dimasukkan dalam rombongan ‘bom syahid’ alias bom bunuh diri. Dia mengaku sudah dikarantina, namun akhirnya batal. Belakangan dia mengaku dipindahkan ke rumah sakit untuk menjadi petugas evakuasi. ”Ini sesuai keinginan menjadi petugas medis,” katanya.
Selama bertugas di rumah sakit, Wildan mengaku menyaksikan anak-anak dan warga sipil yang menjadi korban kekejaman perang saudara. ”Sampai sekarang, saya kesulitan tidur, saya selalu terbayang-bayang apa yang saya saksikan,” ujar Wildan menerawang, lalu menarik napas panjang. Matanya terlihat basah.
Dihadapkan situasi yang tidak terbayangkan itu, pada awal 2014, Wildan memutuskan kembali ke Indonesia. Namun ia tetap punya sikap ekstrim yang belum berubah.
Ia sempat menikah dengan perempuan asal Indramayu Jawa Barat. Namun dua tahun kemudian dia ditangkap Tim Densus 88. Wildan divonis bersalah karena terlibat organisasi teroris ISIS dan dihukum lima tahun penjara.
Di dalam penjara, Wildan semula menolak melakukan ikrar kesetiaan pada NKRI, karena dia mengaku ‘diancam keselamatannya oleh beberapa napi teroris anggota ISIS.’
Namun dia kemudian mengalami titik balik — melakukan ikrar setia kepada NKRI dan mengikuti program deradikalisasi — setelah mengetahui para pengancamnya itu disebutnya “akhlak dan sikapnya bertentangan jauh dengan apa yang diucapkannya.”
Akhirnya dia mendapatkan remisi dan hukumannya diubah menjadi tiga tahun sembilan bulan. Dia dibebaskan pada 2 Oktober 2019.
Kepada BBC, Wildan menyebut peran orang tuanya yang “sangat luar biasa” saat dirinya berada di titik nol dalam kehidupannya — mendekam di balik terali besi. ”Tunjukkan dengan akhlak (berbuat baik), jangan balas dengan keburukan,” Wildan mengutip ulang nasihat orang tuanya. Perkataan ini pula menguatkan dirinya untuk berubah.
Ketika diberi kesempatan untuk membagikan pengalamannya keluar dari jeratan gerakan ekstrim di berbagai acara diskusi, Wildan selalu menyisipkan pentingnya memelihara kedekatan dengan orang tua.
Hal penting lainnya yang sering dia utarakan adalah menyadari pentingnya perdamaian. ”Jadi selagi diberi nikmat perdamaian, kenapa kita harus berperang.”
Wildan juga mengoreksi konsep ‘jihad’ yang dulu disebutnya identik dengan perang. Dia memahami jihad itu “banyak pintunya”, di antaranya membantu fakir miskin dan anak-anak yatim yang terlantar.
”Apalagi di negara kita banyak fakir miskin,” ungkapnya. Kini Wildan aktif membantu memasarkan produk makanan sebuah yayasan yatim piatu di Malang.
Kritikan juga dia sampaikan kepada aliran-aliran di dalam kelompok Islam tertentu yang disebutnya “terlalu ekstrim”. ”Misalnya suka mengkafirkan sesama muslim. Saya pun dikafirkan juga.”