MATA INDONESIA, JAKARTA – Program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) menjadi salah satu kunci kesuksesan perekonomian Indonesia di era Soeharto.
Kala itu, Soeharto dibantu oleh para teknokrat dalam merumuskan kebijakan. Para teknokrat ini berasal dari lingkaran FE UI. Kelompok ini diketuai oleh Widjojo Nitisastro. Selain itu ada nama Emil Salim, Ali Wardhana, J.B. Sumarlin, Saleh Afiff, Subroto dan Muhamamad Sadli.
7 serangkai ini juga merupakan lulusan University of California at Berkeley lewat jalur beasiswa Ford Foundation. Konon gara-gara lulus dari kampus ini, mereka dituding sebagai ‘Mafia Berkeley‘ untuk menanamkan paham ekonomi neo-liberalisme demi kepentingan AS di Indonesia.
Sementara di dalam negeri, Widjojo dkk menghadapi perlawanan dari para Jenderal seperti Ali Murtopo, Ibu Sutowo, dan Ali Sadikin yang mengharapkan pendekatan ekonomi yang lebih nasionalis.
Pun beberapa pihak lain, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menganggap Mafia Berkeley ini sebagai pengkhianat bangsa karena langkah privatisasi yang dilakukan dinilai sebagai bentuk penjualan aset-aset bangsa.
Meski demikian, peran Widjojo dkk sebagai arsitek ekonomi di masa orde baru patut diapresiasi. Buktinya mereka berhasil menekan inflasi nasional yang sempat melambung jauh di masa orde lama.
Widjojo, dkk sukses menekan tingkat inflasi dari 650 persen di tahun 1966, menjadi hanya 13 persen di tahun 1969. Rencana itu juga menekankan rehabilitasi infrastruktur dan pengembangan di bidang pertanian.
Tuah Widjojo pun berlanjut. Ketika Asia dilanda krisis moneter pada tahun 1965-1997, Widjojo dkk mampu mempertahankan perekonomian Indonesia untuk tetap tumbuh dengan rata-rata 6,5 persen per tahun.
Saat menjadi Menko Ekuin sekaligus merangkap Ketua Bappenas periode 1973-1978 dan 1978-1983, Widjojo membikin perencanaan ekonomi yang tertuang dalam Repelita. Dalam Orde Baru, Bappenas menjadi lembaga yang krusial sebab memegang kunci pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Menurut Mudrajad Kuncoro, Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM, dalam kolomnya di Gatra (2012), sistem kerja Repelita sendiri berpegang pada perencanaan terpusat, baik itu secara arah kebijakan maupun pendanaan. Dengan alur seperti ini, pembangunan di daerah lebih menonjol karena perencanaan maupun implementasinya “bersifat sentralistik.”
Mulai dari Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah (Repelitada), Bimas, Inmas, sampai Inpres adalah cerminan jelas dari implementasi tersebut. Program-program ini memiliki pendekatan sektoral yang amat kuat, dengan mekanisme dekonsentrasi. Pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan Jakarta.
Demi memperbaiki perekonomian dalam negeri, Widjojo percaya bahwa sistem ekonomi yang mencakup pasar, fiskal, maupun utang luar negeri harus dimodernisasi. Tujuannya agar kelak perekonomian Indonesia bisa memberi keuntungan bagi kelompok kaya maupun rakyat miskin.
Untuk merealisasikannya, Indonesia perlu memproduksi barang yang punya keunggulan komparatif ketimbang negara maju. Ada pun dasar dari keunggulan komparatif yaitu tenaga buruh murah serta sumber daya alam melimpah. Agar berjalan sesuai rencana, negara harus punya keterlibatan lebih dalam industri manufaktur baik sebagai pemilik modal sampai pembuat kebijakan (development state).
Pemikiran Widjojo inilah yang lantas dikenal dengan istilah: Widjojonomics. Strategi Widjojo memang membuahkan hasil yang positif bagi kondisi ekonomi nasional. tak hanya inflasi yang berhasil ditekan, investasi asing pun mengucur deras dan PDB bergerak stabil.
Bahkan berkat kebijakan para ekonom inilah Indonesia memperoleh sebutan ‘Macan Asia’. Tommaso Rossotti dalam “Indonesian Political Economy: A Historical Analysis” menerangkan, dekade Orde Baru menjadi “periode transformasi yang kuat untuk Indonesia di setiap aspek.”
Namun, pencapaian di sektor ekonomi tersebut tidak dibarengi penguatan institusional sehingga membuka ruang lebar akan munculnya praktik korupsi oleh Soeharto dan kroni-kroninya. Maka tak heran kalau di era Soeharto banyak bermunculan para pemburu rente (rent seeking) maupun kroni kapitalis yang terdiri atas konco-konco dekat sampai anak-anaknya—yang menguasai berbagai sektor ekonomi.
Perlahan tapi pasti, politisasi ekonomi yang ditempuh Soeharto mencapai titik nadirnya di akhir 1990-an. Indonesia terpapar krisis moneter dan Soeharto pun lengser. Usai Soeharto turun, pengaruh Widjojo pun ikut pudar.
Habibie sebagai pengganti Suharto, ternyata memiliki pemikiran berbeda dengannya. Habibie berpandangan bahwa Indonesia tidak boleh hanya menjadi negara yang hanya bisa memproduksi barang yang memiliki komparatif, tapi harus memiliki keunggulan kompetitif yang bisa dicari melalui pengejaran teknologi tinggi.
Namun semasa Presiden Abdurrahman Wahid, Widjojo kembali dipercaya memimpin Tim Ekonomi Indonesia untuk melakukan negosiasi utang pada perundingan Paris Club di April 2000. Dalam perundingan itulah, Widjojo sukses meyakinkan negara donor untuk menjadwal ulang utang Indonesia periode April 2000 sampai 2002, senilai 5,9 miliar dolar AS.
Sang arsitek ekonomi itu pun telah tiada. ia tutup usia pada dini hari Jumat, 9 Maret 2012 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.