Tragedi Tanjung Priok: Orde Baru Menghabisi Umat Muslim

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA –  Tragedi Tanjung Priok, Jakarta Utara, darah tumpah. 12 September 1984, pecahlah kerusuhan yang melibatkan massa umat Islam dengan aparat pemerintah Orde Baru (Orba).  Korban tewas diterjang timah panas dari senapan tentara.

Kejadian ini berasal dari penerapan Pancasila sebagai asas tunggal. Semua organisasi di Tanah Air wajib berasaskan Pancasila. Saat itu situasi cukup panas. Banyak kalangan terutama para ulama menentang penerapan Pancasila sebagai asas tunggal.

Di utara Jakarta, tepatnya di sebuah langgar Abdul Qadir Djaelani, seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok, sering menyampaikan ceramah yang dituding aparat sebagai provokatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional. Dari situlah kejadian berdarah itu bermula.

Bentrok

Lokasi kejadian berdarah ini terjadi di jalan depan Mapolres Tanjung Priok dan Makodim Jakarta Utara. Sekitar 1.500 massa yang menuntut pembebasan empat orang yang ditahan akibat kerusuhan di Mushala As-Saadah Koja Jakarta Utara. Demonstrasi ini disambut rentetan tembakan oleh pasukan tentara di dua lokasi itu. Korban tewas bergelimpangan.

Jumlah korban tewas, hilang, dan terluka masih simpang siur hingga kini. Petinggi militer waktu itu Panglima ABRI LB Moerdani dan Pangdam V Jakarta Raya Mayjen TNI Try Soetrisno mengatakan, korban meninggal 24 orang dan 53 orang luka-luka.

Tapi catatan Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) menyebut sekitar korban sekitar 400 orang tewas berdasar kesaksian warga dan laporan kehilangan keluarga di peristiwa itu.

Laporan Komnas HAM menyebutkan peristiwa ini menimbulkan korban sebanyak 79 orang; yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 23 orang.

Sulitnya mendata korban karena aparat keamanan langsung membersihkan lokasi penembakan usai kejadian. Warga melihat truk membawa korban luka ke RSPAD Gatot Subroto. Truk juga mengangkut korban tewas.

Rentetan berikutnya dari tragedi Tanjung Priok banyak penangkapan warga termasuk juga tokoh-tokoh yang ceramah di pengajian. Alasannya ceramahnya memprovokasi warga. Topik ceramahnya rencana pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila dan dampaknya bagi umat Islam.

Aparat melakukan penangkapan kepada 28 tokoh masyarakat. Antara lain Abdul Qadir Djaelani, AM Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Hasan Kiat. Mereka menjadi tertuduh aktor intelektual kerusuhan sehingga mendapat hukuman 18 tahun.

Kejadian ini berawal pada Sabtu, 8 September 1984. Dua Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Koramil datang ke Musala As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok. Mereka memasuki area tempat ibadah tanpa melepas sepatu dengan maksud mencopot pamflet yang berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah.

Kedua Babinsa itu memakai air comberan dari got untuk menyiram pamflet tersebut. Kelakuan dua Babinsa ini segera menjadi kasak-kusuk di kalangan jemaah dan warga sekitar kendati masih menahan diri untuk tidak langsung merespons secara frontal.

Namun, sayangnya tidak pernah ada upaya dari pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang untuk menyelesaikan masalah ini secara damai sebelum terjadi polemik yang lebih besar.

Dua hari kemudian, terjadi pertengkaran antara beberapa jemaah musala dengan tentara pelaku pencemaran rumah ibadah. Adu mulut itu sempat terhenti setelah dua Babinsa itu masuk ke kantor pengurus Masjid Baitul Makmur yang terletak tidak jauh dari musala. Namun, kabar telah terlanjur beredar sehingga masyarakat mulai berdatangan ke masjid.

Situasi tiba-tiba ricuh karena salah seorang dari kerumunan membakar sepeda motor milik tentara. Aparat segera bertindak mengamankan orang-orang yang menjadi provokator.

Amir Biki

Amir Biki, salah seorang tokoh yang menjadi korban Tragedi Tanjung Priok
Amir Biki, salah seorang tokoh yang menjadi korban Tragedi Tanjung Priok

Empat orang ditangkap, termasuk oknum pembakar motor. Penahanan tersebut membuat massa kesal terhadap aparat.  Keesokan harinya, 11 September 1984, jemaah meminta bantuan kepada Amir Biki, salah seorang tokoh di Tanjung Priok untuk merampungkan permasalahan ini.

Amir Biki segera merespons permintaan jemaah itu dengan mendatangi Kodim untuk menyampaikan tuntutan agar melepaskan 4 orang. Namun, ia tidak memperoleh jawaban yang pasti.

Amir Biki kemudian menggagas pertemuan pada malam harinya untuk membahas persoalan serius ini. Para ulama dan tokoh-tokoh agama datang.

Forum umat Islam itu pada pukul 8 malam dan berlangsung selama kurang lebih 3 jam. Amir Biki sebenarnya bukan seorang penceramah. Namun, oleh jemaah yang hadir, ia menyampaikan pidato dalam forum tersebut. Amir Biki pun naik ke mimbar dan berseru:

“Kita meminta teman-teman kita bebas. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak bebas maka kita harus memprotesnya!” “Kita tidak boleh merusak apapun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita,” ujar Amir Biki.

Lantaran permohonan pembebasan 4 tahanan itu tetap tak ada repsons  hingga menjelang pergantian hari, maka paginya, 12 September 1984, sekitar 1.500 orang bergerak. Sebagian menuju Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke arah Kodim yang berjarak tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 meter. Terjadilah tregadi Tanjung Priok berdarah ini.

Reporter: Annisaa Rahmah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Survei Elektabilitas Bakal Calon Walkot Jogja yang Bertarung di Pilkada 2024, Sosok Ini Mendominasi

Mata Indonesia, Yogyakarta - Menjelang Pilkada 2024 di DIY, sejumlah lembaga survei sudah bergeliat menunjukkan elektabilitas para bakal calon Wali Kota dan juga Bupati. Termasuk lembaga riset Muda Bicara ID yang ikut menunjukkan hasil surveinya. Lembaga yang diinisiasi oleh kelompok muda ini mengungkap preferensi masyarakat Kota Jogja dalam pemilihan Wali Kota Jogja 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini