MATA INDONESIA, JAKARTA – Tak ada yang menyangka dalam benak Slamet Suradio, Senin, 19 Oktober 1987 menjadi hari yang paling kelam dalam hidupnya. Subuh itu ia berangkat ke tempat kerja dengan semangat. Istrinya Kasni mengantarkannya ke pintu.
Sepanjang dia membawa kereta api, tak ada perasaan apapun bahwa hari itu akan terjadi peristiwa yang akan mengubah hidupnya kelak.
Kisah Slamet Suradio ini bisa ditonton melalui channel YouTube Kisah Tanah Jawa. Slamet Suradio menceritakan soal kecelakaan yang melibatkan KA 225 jurusan Rangkasbitung-Jakartakota dan KA 220 jurusan Tanahabang-Merak.
Slamet yang dihukum penjara atas kecelakan tersebut tetap merasa bukan dirinyalah yang bersalah dalam kecelakan tersebut. Dia sendiri dihukum karena diduga memberangkatkan sendiri kereta dari stasiun tanpa adanya perintah atau aba-aba.
Sebelum ditahan ia sempat dirawat selama kurang lebih tiga bulan di RS Pelni. Awalnya banyak yang menjenguk dan turut prihatin kepadanya. Setelah banyak orang mengetahui bahwa ia merupakan masinis dari tragedi tersebut, seketika banyak orang datang mengancam hingga nekat memecahkan kaca ruangan rumah sakit. Orang-orang terprovokasi dengan tudingan Slamet merupakan dalang utama dibalik kejadian naas ini. Untungnya, Slamet dijaga ketat oleh petugas Kepolisian.
Belum juga membaik dari kondisinya, Slamet dipaksa untuk menandatangani surat pengakuan bahwa ia tetap menjalankan kereta tanpa instruksi dari PPKA. Penolakan demi penolakan terus diajukan oleh Slamet hingga ancaman dari kepolisian diberikan. Ia pun tetap harus menjalani proses peradilan dan divonis bersalah tanpa adanya keputusan yang jelas dari pengadilan. Ia diadili secara sepihak, padahal sebelumnya hakim mengatakan bahwa Slamet tidak bisa dikatakan sepenuhnya bersalah karena ia memiliki surat PTP (Pemberitahuan Tentang Persilangan) yang masih terdapat bercak darahnya. ”Yang seharusnya saya di Sudimara bersilangan dengan KA 220 dibatalkan oleh PPKA yang sedang dinas,” kata Slamet.
”Jadi kalau ada orang mengatakan berangkat sendiri itu bohong, apa untungnya saya memberangkatkan kereta sendiri.” Ungkap lelaki renta itu.
Setelah menunggu beberapa saat, Slamet pun akhirnya memberangkatkan kereta sesuai instruksi. Beberapa saat perjalanan, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan karena tidak ada sinyal apapun yang Slamet terima. Namun alangkah terkejutnya ketika dari arah berlawanan, tampak KA 220 dari Stasiun Kebayoran. Padahal Slamet sudah mengantongi PTP (Pemberitahuan Tentang Persilangan) yang seharusnya situasi sudah aman. Tanpa pikir panjang, Slamet langsung menarik rem bahaya, namun usahanya sia-sia karena jarak kedua kereta sudah terlalu dekat. “Saya terus narik rem bahaya, ternyata gagal, tidak bisa berhenti, tetep terjadi tabrakan,” ujar Slamet.
Akibat tabrakan itu, Slamet terpental di dalam lokomotif dan mukanya terkena remukan kaca. Dalam keadaan setengah sadar, Slamet pun berusaha menyelamatkan dirinya. ”Kaki saya ngesot-ngesot tidak bisa jalan, akhirnya saya merambat melalui jendela,” katanya.
Ia kemudian menjatuhkan diri ke tanah. Dalam kondisi terluka parah, Slamet kemudian dibawa oleh seorang perempuan ke rumah sakit dengan mobilnya. Meski wajahnya bersimbah darah, Slamet masih mengantongi PTP di sakunya.
PTP tersebut jadi satu-satunya bukti Slamet bahwa dirinya tidak bersalah. Bercak darah di PTP itu membuat hakim percaya bahwa Slamet tidak loncat dari lokomotifnya. ”Jadi hakim percayanya saya tidak loncat itu karena ada bercak darah,” ungkap Slamet.
Ia pun sedih dengan kabar yang berdedar bahwa ia meloncat dari lokomotif sebelum tabrakan untuk menyelamatkan diri. ”Ada katanya saya loncat, itu bohong sekali, itu orang fitnah, jelas fitnah!” ujar dia.
Sejak itulah kisah hidupnya menjadi muram termasuk ditinggal istrinya sendiri. Usai keluar dari penjara, Slamet pun harus menelan kenyataan pahit lantaran istrinya sudah direbut rekan sesama masinis. Namun Slamet berusaha ikhlas atas keadaan tersebut.
Kini Slamet masih menunggu haknya sebagai pensiunan PT KAI. Proses hukum yang sempat menjeratnya membuat Slamet tak bisa mendapatkan hak layaknya pegawai yang lain. ”Saya mohon hak saya dikeluarkan, uang pensiun,” keluh Slamet.
“Karena sekalipun saya dipenjara ‘kan bukan karena saya berbuat jahat, ‘kan ini musibah, kecelakaan.” Ucapnya sambil bergetar seolah ingin melupakan kejadian 33 tahun itu.
Selain Slamet, tiga pegawai PJKA juga ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Jamhari, Umriyadi dan Kondektur KA-225 Adung Syafei.
Reporter: Dhelana Unggul Parastri