MATA INDONESIA, JAKARTA – Tak ada darah biru ataupun keturunan raja, sejumlah budak yang membentuk pasukan kemudian merebut dan menguasai Mesir. Mereka kemudian mendirikan kerajaan sendiri. Nama dinasti dari para budak ini adalah Mamluk. Dan mereka berkuasa selama tiga abad.
Kata Mamluk dalam bahasa Arab artinya budak yang ditawan, tetapi tidak dengan orangtuanya. Meski berasal dari bangsa budak, mereka tercatat sebagai dinasti yang mampu menghentikan laju kekuasaan Mongol ke Suriah dan menghalau kehadiran Tentara Salib di Palestina ataupun sepanjang pantai Suriah.
Para budak ini berasal dari Asia Tengah. Penampilan mereka lebih mirip orang Mongolia daripada Siria. Dulu, orang-orang Mamluk ini dibeli sebagai budak dan dikirim untuk menjadi pembantu di beberapa kesultanan.
Para budak ini dijual di usia 13-15 tahun. Mereka kemudian masuk Islam dan mendapat pelatihan militer. Sekumpulan budak ini ternyata punya talenta. Mereka menjadi pasukan terlatih dan kuat. Mereka juga punya kemampuan bertarung yang baik. Para budak ini adalah penjaga yang baik untuk Tuannya.
Mereka kemudian diperjualbelikan. Baik melalui jalur tawanan perang atau pembelian budak. Masuknya mereka ke Mesir berlangsung tanpa berhenti sejak akhir periode dinasti Abbasiyah. Seiring berjalannya waktu, mereka sangat dominan dalam bidang militer dan politik.
Kulit Putih
Siapa yang mempelopori kelompok ini? ternyata mereka adalah mamluk berkulit putih.
Para budak atau Mamluk tersebut dipasok dari kawasan Transoxiana. Transoxiana adalah sebutan pada masa lalu untuk sebuah wilayah di bagian Asia Tengah, yang saat ini berdekatan dengan Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgystan, dan Kazakhstan. Transoxania dalam bahasa Arab disebut “Maa wara’a nahr” atau dalam bahasa Inggirs “across the oxus river” atau sering disebut juga dengan “mawarannahar”.
Kota seperti Samarkand, Fergana, Osyrusana, Syasy, dan Khawarizmi dikenal sebagai sumber utama pengekspor budak kulit putih asal Turki. Para Mamluk, didapat dengan tiga cara, yakni pembelian, tawanan dalam perang, dan hadiah yang diberikan oleh gubernur kawasan Transoxiana kepada khalifah. Dengan demikian, kawasan Transoxiana menjadi sumber penting pemasuk budak Turki.
Penguasa Mesir dari dinasti Ayyubiyah terakhir, Al Malik Al Saleh, menjadikan para budak kulit putih itu sebagai pengawalnya untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Dari situlah, mereka mendapat hak-hak istimewa dalam militer dan mendapatkan imbalan materi. Ketika Al Malik Al Saleh meninggal pada sekitar 1249 dan digantikan putranya, Turansyah, golongan Mamluk merasa terancam. Pasalnya, Turansyah lebih dekat dengan tentara asal Kurdi. Maka pada sekitar tahun 1250, bangsa Mamluk di bawah pimpinan Aybak dan Baibars membunuh Turansyah.
Setelah itu, istri Al Malik Al Saleh, Syajarah al-Durr, yang juga berasal dari kalangan Mamluk, berusaha mengambil alih pemerintahan Ayyubiyah. Syajarah al-Durr pun berhasil mengambil alih pemerintahan selama tiga bulan, sebelum akhirnya menikah dengan pemimpin Mamluk, Aybak, dan menyerahkan kekuasaannya. Setelah mengambil alih pemerintahan, Aybak membunuh Syajarah al-Durr dan sempat menunjuk Musa, keturunan Ayyubiyah, sebagai penguasa. Namun, tidak berselang lama, Aybak membunuh Musa dan menandakan bahwa Dinasti Ayyubiyah di Mesir berakhir dan digantikan oleh Dinasti Mamluk.
Beberapa sejarawan menganggap Aybak sebagai pendiri Dinasti Mamluk Bahri sekaligus sultan pertamanya. Sedangkan sebagian lainnya ada yang menganggap Syajarah al-Durr sebagai penguasa Dinasti Mamluk yang pertama.
Dinasti Mamluk terbentuk pada 1250 dan kekuasaannya berakhir pada 1517, ketika Turki Ottoman menyerang dinasti ini. Selama itu, pemerintahan Dinasti Mamluk terpecah menjadi dua fase, yaitu Dinasti Mamluk Bahri (1250-1381) dan Dinasti Mamluk Burji (1382-1517). Penamaan ini didasarkan pada resimen yang disediakan oleh Al Malik Al Saleh sebelum digulingkan.
Taktik
Kaum mamluk yang mendirikan dinasti ini rata-rata adalah orang-orang yang punya pengetahuan. Beberapa catatan menemukan bahwa mereka punya buku sendiri.
Isinya taktik perang, seragam, teknik bertarung, bahkan pertolongan pertama. Ada juga penjelasan serta ilustrasinya. Di berbagai catatan ini, kita bisa lihat gaya ‘Mongol’ dalam penggambaran motifnya.
Tak hanya itu, meski mereka berasal dari kalangan budak, taktik dan strategi mereka di atas rata-rata. Mereka menciptakan sistem komunikasi melalui pos dari Kairo sampai Damaskus. Gunanya untuk mengetahui pergerakan musuh.
Seiring waktu, jumlah orang Muslim meningkat. Kesultanan Mamluk sendiri bisa disebut salah satu kerajaan Muslim yang berpengaruh. Banyak orang yang mualaf, setidaknya sampai akhir abad ke 14.
Pemerintahan Dinasti Mamluk terpecah menjadi dua fase. Yaitu Dinasti Mamluk Bahri (1250-1381) dan Dinasti Mamluk Burji (1382-1517).
Dinasti Mamluk Bahri
Aybak adalah penguasa pertama Dinasti Mamluk Bahri. Ia memerintah dari 1250 hingga 1257. Setelah Aybak meninggal, anaknya Ali mengambilalih pemerintahan Mamluk. Ali masih muda sehingga perlu pendamping yaitu Qutuz. Namun pada 1259, Qutuz memaksa Ali mengundurkan diri. Pada masa ini, Baibars, yang tidak menyukai kekuasaan Aybak dan memilih menyingkir ke Suriah, kembali ke Mesir.
Pada saat Qutuz berkuasa, terjadi serangan pasukan Mongol. Dinasti Mamluk pun berusaha untuk mengusir Mongol. Mereka bertempur di Ain Jalut pada 3 September 1260.
Di bawah pimpinan Qutuz dan Baibars, Mamluk berhasil mengalahkan Mongol dan mengusirnya dari Mesir.
Kemenangan Mamluk tersebut merupakan kemenangan pertama pasukan Muslim atas Mongol. Mereka sekaligus mematahkan mitos bahwa pasukan Mongol tidak terkalahkan. Setelah itu, Mamluk menjadi tumpuan umat Islam di sekitarnya. Para penguasa Suriah pun menyatakan setia kepada mereka. Pusat pemerintahan kemudian pindah ke Kairo, karena Bagdad hancur saat ada serangan dari pasukan Mongol.
Tidak lama kemudian, Baibars menggulingkan Qutuz. Dan ini membuat Mamluk menjadi dinasti yang kuat karena kekuatan militernya. Baibars sebagai sultan juga bijak dalam memerintah hingga dinasti ini mengalami perkembangan pesat dalam bidang ekonomi.
Selama memerintah antara 1260 hingga 1277, Baibars pernah mengalahkan Tentara Salib di sepanjang Laut Tengah dan Pegunungan Suriah. Baibars adalah Sultan Mamluk yang terkenal saleh dan sungguh-sungguh dalam menjalankan syariat Islam. Oleh karena itu, ia juga mengangkat empat orang hakim agung yang mewakili empat mazhab besar dalam Islam dan mengatur keberangkatan haji secara sistematis.
Pada periode ini, Kairo menjadi kota penting dan strategis bagi perdagangan Asia Barat dan Laut Tengah dengan pihak Barat, serta menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, dinasti ini membangun berbagai fasilitas umum dengan cita rasa dan seni yang tinggi. Salah satu peninggalannya adalah adalah Masjid Rifa’I dan Masjid Sultan Hassan di Kairo. Baibars memerintah hingga akhir hidupnya pada 1277.
Dinasti Mamluk Burji
Pemerintahan Mamluk Burji berawal dengan berkuasanya Sultan Barquq setelah menggulingkan Sultan Shalih Hajj II dari Mamluk Bahri. Tidak ada perubahan mendasar pada pemerintahan Mamluk Bahri dan Mamluk Burji.
Pada masa Sultan Barquq terjadi serangan dari Timur Lenk, penguasa dan penakluk Turki-Mongol, dan tentaranya yang terkenal kejam. Setelah Barquq meninggal, Sultan Al-Nashir Faraj memerintah Mamluk dari tahun 1399 hingga 1405.
Namun, setelahnya banyak sultan Mamluk Burji yang naik takhta di usia yang masih muda. Hal ini menjadi salah satu penyebab melemahnya dinasti.
Memasuki abad ke-16, para penguasa semakin sibuk dengan gejolak di internal kesultanan terutama perebutan kekuasaan.
Pada awal abad ke-16, terjadi pergolakan di wilayah Syam, Aleppo, dan di selatan Mesir. Selain itu, muncul Kesultanan Turki Utsmani. Sultan terakhir Dinasti Mamluk Burji adalah Asyraf Tumanbai, yang merupakan seorang pejuang yang gigih. Akan tetapi, pemerintahannya tidak mendapat dukungan dari golongan Mamluk. Ia harus menghadapi sendiri pasukan Turki Utsmani.
Pada akhirnya, pasukan Utsmani berhasil menangkap Tumanbai dengan bantuan beberapa petinggi Mamluk. Mereka mengantung Tumanbai di salah satu gerbang Kota Kairo. Masa kekuasaan Dinasti Mamluk pun berakhir pada 1517.
Penulis: Deandra Alika Hefandia