MINEWS, JAKARTA – Generasi muda saat ini mungkin banyak yang tak mengenal sosok Raden Mas Panji Sosrokartono. Padahal, kakak dari Kartini ini merupakan salah satu orang jenius yang pernah dimiliki Indonesia.
Apa sih kejeniusan Sosrokartono? Pria kelahiran Mayong, 10 April 1877 ini memiliki keahlian sebagai poliglot atau ahli bahasa. Bahkan ia mampu menguasai 17 bahasa Barat dan 9 bahasa Timur.
Berkat keahliannya tersebut, The New York Herald Tribune (NY Herald Tribune) merekrutnya sebagai wartawan perang pada 1917.
Profesi itulah yang membuat Sosrokartono menghasilkan satu liputan yang masih dikenang kantor media Amerika Serikat tersebut hingga saat ini. Liputan yang dimaksud adalah perundingan gencatan senjata antara Sekutu dan Jerman pada Perang Dunia I.
Ketika itu, dirinya ikut rombongan yang menumpangi kereta api pada 11 November 1918 di Compiegne, Perancis Selatan. Peristiwa ini kemudian dikirim Sosrokartono dengan kode pengenal ‘bintang tiga’ atau anonim.
Sontak, tulisan penerima pangkat Mayor itu bikin gempar Amerika dan Eropa, dan menjadi salah satu prestasi luar biasa Sosrokartono sebagai wartawan perang.
Dalam hasil liputannya, Sosrokartono menuliskan bahwa perjanjian tersebut mulai berlaku setelah enam bulan perundingan di Paris. Perjanjian ini akan mengakhiri perang antara Sekutu dan Jerman.
Jerman pun didesak untuk menentukan kapan Jerman harus memenuhi kewajiban sesuai klausul hasil perundingan tersebut. Beberapa minggu pertama diprediksi akan menjadi masa tekanan yang besar.
Sebab menurut Traktat Damai ada beberapa tugas yang harus dilakukan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Termasuk meminta menunjuk sebuah Komisi Pemerintahan dan seorang Komisaris Tinggi untuk Dantzig.
Klinik Pengobatan Tradisional
Pada tahun 1919, Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson memprakarsai didirikannya Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations). Sejak tahun tersebut sampai 1921, Sosrokartono berhasil menjabat sebagai Kepala Penterjemah untuk semua bahasa yang digunakan di Liga Bangsa-Bangsa.
Di tahun yang sama, Sosrokartono juga sempat mencicipi menjadi Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar Perancis di Belanda.
Setelah berhenti kerja di Jenewa, Sosrokartono pergi ke Paris untuk belajar Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Akan tetapi, karena ia adalah lulusan Bahasa dan Sastra, maka hanya diterima sebagai toehoorder saja.
Pihak perguruan tinggi beralasan, jurusan tersebut secara khusus hanya disediakan untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter. Alhasil, Sosrokartono kecewa.
Tepat tahun 1925, Sosrokartono pulang ke tanah air. Saat itu ia langsung ditawari berbagai jabatan dari Pemerintah Kolonial Belanda seperti jabatan Bupati, Adviseur Voor Inlandse Zaken dan Direktur pada Museum Bataviaasch Genootschaap Van Kunsten en Wetenschappen di Jakarta. Sayang, tawaran jabatan itu ditolak mentah-mentah Sosrokartono.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia memberi kursus bahasa kepada orang-orang asing. Bahkan dia juga mendirikan rumah penyembuhan dengan nama Dar-Oes-Salam, yang berarti “Tempat yang Damaiâ€, di rumahnya di Jalan Pungkur No 7 Bandung – sebelum pindah ke Jalan Pungkur No 19.
Ketika itu, Soekartono punya beberapa nama panggilan lainnya seperti, wonderdokter, juragan dokter cai pengeran, dokter alif, Oom Sos, Eyang Sosro, dan Ndoro Sosro.
Tepat pada hari Jum’at Pahing, tanggal 8 februari 1952, Sosrokartono wafat. Presiden Soekarno saat itu memerintahkan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) untuk mengantarkan jenazah Sosrokartono dengan pesawat terbang militer ke kota Semarang.
Jenazahnya kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Sedhomukti di kota Kudus. Di nisannya tertulis: “sugih tanpa bandha / digdaya tanpa aji / nglurug tanpa bala / menang tan ngasorake (kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan).
Profil RMP Sosrokartono
Tempat dan Tanggal Lahir: Mayong, 10 April 1877 M
Pendidikan : Eropesche Lagere School di Jepara, H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda, dan ambil Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur.
Beliau merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh putera-putera Indonesia lainnya. Dengan menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden, beliau mengembara ke seluruh Eropa, menjelajahi pelbagai pekerjaan.