MATA INDONESIA, JAKARTA – Novel menjadi salah satu buku kegemaran generasi muda. Salah satu genre novel yang pernah populer di Indonesia adalah cerita silat atau cersil. Di antara banyaknya penulis cerita silat, SH Mintardja merupakan yang terkenal. Pria yang memiliki empat anak ini lahir dengan nama lengkap Singgih Hadi Mintardja pada 26 Januari 1933 di Yogyakarta.
Ia pernah bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan pada 1958. Lalu, di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud DIY pada tahun 1989.
Dalam menulis cerita silat, penulis kawakan ini menggunakan latar belakang zaman kerajaan Jawa. Selama masa hidupnya, Mintardja merupakan penulis yang sangat produktif. Hal ini dibuktikan dengan jumlah karyanya yang lebih dari 400 buku.
Salah satu ceritanya yang paling melegenda adalah Api di Bukit Menoreh yang diterbitkan oleh Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Cerita ini memiliki jumlah episode yang sangat panjang, yakni 396. Karena kepopulerannya, Api di Bukit Menoreh diangkat ke layar lebar pada tahun 1971.
Saat menulis, SH Mintardja menggabungkan sejumlah fakta sejarah kerajaan. Cerita yang ia lahirkan pun penuh dengan tantangan dan ketegangan sehingga sangat mengasyikan untuk dibaca. Ia pun sangat piawai ketika menulis tentang pertempuran. Contohnya seperti, “Tetapi Widura datang tepat pada waktunya. Pada saat Sidanti terdorong beberapa langkah surut, serta tongkat baja itu telah terayun dengan derasnya, sehingga Sidanti tak mungkin lagi menghindar, selain menangkis dengan Nenggalanya, pada saat itulah Widura telah berada di sampingnya. Desisnya sambil menyilangkan pedangnya di hadapan dadanya, “Aku terpaksa agak lambat menyambutmu Angger.”
Nagasasra
Sejak muda, Mintarja memang sangat menyukai dunia seni. Setelah menyelesaikan pendidikannya di bangku menengah atas, ia dan tiga orang temannya, Kirdjomuljo, Nasjah Jamin Widjaja, dan Sumitro mendirikan majalah Fantasia dan Intermezzo.
Namanya mulai tenar lewat karyanya yang berjudul Nagasasra dan Sabuk Inten di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat pada tahun 1966. Cerita yang ia suguhkan pun dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat. Sebab Mintardja sangat cakap dalam menulis sejarah. Kecakapannya itu karena ia mendalami Kitab Babat Tanah Jawi yang beraksara Jawa.
Karena mendapat sambutan yang positif, cerita silat Nagasasra dan Sabuk Inten pun menjadi buku. Sama seperti sebelumnya, buku itu pun meledak di pasaran. Bukan hanya dijual di toko buku saja, karya buatan Mintardja itu juga dijual di warung koran dan warung kopi.
Melihat permintaan pasar yang masih tinggi, pihak Kedualatan Rakyat memiliki ide untuk menerbitkan edisi spesial Nagasasra dan Sabuk Inten. Kemasan kedua cerita tersebut dengan sampul tebal dan jilid sebanyak tiga kali. Tiap jilidnya berisi 800 halaman dengan harga jual Rp 100 per jilid.
Walau hanya cerita fiksi, banyak pembaca yang mengira jika cerita tersebut benar adanya. Bahkan, baju Mahesa, salah satu tokoh pun menjadi tren saat itu.
Selain sarat akan pesan moral, karya Mintardja pun kaya akan budaya Jawa. Misalnya, ia menceritakan sebuah adat kebiasaan mitoni atau sepasaran. Kegiatan ritual ini menyambut kelahiran bayi di masyarakat Jawa.
Belajar Silat
Demi menghasilkan karya yang berkualitas, ia tak segan-segan untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Menurut penuturan Suhartini, istri Mintardja, untuk memperdalam silat suaminya itu sempat mempelajari salah satu bela diri itu. Tak hanya itu, ia pun melakukan survei tempat lokasi di dalam cerita.
Bila sebagian orang hanya bisa menulis di tempat sunyi, lain halnya dengan Mintardja. Ia lebih suka menulis cerita silat di ruang makan rumahnya yang terletak di Gedong Kiwo, Pojok Benteng Kulon Yogyakarta. Alasannya memilih ruang makan ialah agar dapat berinteraksi. Menurutnya, ruangan sepi membuat produktivitasnya menurun.
Mintardja pun mempercayakan istrinya sebagai orang pertama yang membaca naskahnya, terutama sandiwara radio. Jika istrinya belum setuju dengan ceritanya, ia tidak akan menyerahkan naskah tersebut.
Setiap menulis, Mintardja menyediakan dua mesin ketik. Ia mengaku tak pernah menyimpan stok cerita silat. Jika tanggannya sudah menyentuh tuts mesin ketik, ide cerita silat seakan mengalir begitu saja. Namun bila kehabisan ide, ia akan berpindah ke mesin ketik lain untuk menemukan ide batu.
Kini, SH Mintardja telah tiada. Ia meninggal di usia 65 tahun pada tanggal 18 Januari 1999 setelah mendapat perawatan selama sebulan di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta.
Berikut karya SH Mintardja
- Api di Bukit Menoreh (396 episode)
- Tanah Warisan (8 episode)
- Matahari Esok Pagi (15 episode)
- Meraba Matahari (9 episode)
- Suramnya Bayang-bayang (34 episode)
- Sayap-sayap Terkembang (67 episode)
- Istana yang Suram (14 episode)
- Nagasasra dan Sabukinten (16 episode)
- Bunga di Batu Karang (14 episode)
- Yang Terasing (13 episode)
- Mata Air di Bayangan Bukit (23 episode)
- Kembang Kecubung (6 episode)
- Jejak di Balik Bukit (40 episode)
- Tembang Tantangan (24 episode)
- Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan (118 episode)
Reporter: Diani Ratna Utami