Sejarah Sidoarjo yang Tak Terlupakan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA– Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, sebuah semboyan dari Bung Karno yang terus terngiang sampai saat ini. Setiap tempat yang dipijak, tentu mempunyai sejarah yang tak semestinya dilupakan. Begitupun sejarah dari Sidoarjo.

Sidoarjo merupakan sebuah nama kota/kabupaten atau wilayah yang ada di Provinsi Jawa Timur. Sidoarjo sebagai penyangga dari kota Surabaya memiliki luas 719,63 km2.

Sebelum terbentuk seperti sekarang, tercatat dalam sejarah, Sidoarjo dulunya dikenal sebagai pusat Kerajaan Jenggolo pada masa kolonialisme Hindia Belanda. Sebutan saat itu belum menjadi Sidoarjo, tetapi lebih disebut Sidokare.

Daerah Sidokare dahulu dipimpin oleh seorang patih yang bernama R, Ng. Djojharjo dan dibantu oleh Wedana Bagus Ranuwiryo. Cara pemerintahannya pada saat itu memakai bentuk sentralistis dan hirarkis.

Sistem tersebut menjadikan wedana berada di bawah perintah bupati, sementara camat di bawah perintah wedana dalam menjalankan kepemerintahan di masing-masing wilayahnya.

Tahun 1859, wilayah Sidoarjo terbagi menjadi dua, yaitu wilayah Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare. Pembagian wilayah itu berdasarkan dari keputusan Pemerintah Hindia Belanda No 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No.6.

Sejak pembagian kepemerintahan tersebut, R. Notoputro yang diberi gelar menjadi R.T.P Tjokronegoro I berasal dari Kesepuhan putra dari R.A.P Tjokronegoro I diangkat sebagai bupati untuk memimpin daerah Kabupaten Sidokare.

Tanggal 31 Mei 1859 saat kepemimpinan RTP Tjokronegoro I, nama Kabupaten Sidokare dirasa memiliki makna yang kurang bagus, kemudian diresmikan dengan sebutan Sidoarjo. Yang menjadi tanggal peringatan terbentuknya Kabupaten Sidoarjo.

Tak lama menjalani masa kepemimpinannya, R.T.P Tjokronegoro I wafat. Ia digantikan oleh sang kakak, R.T.A.A Tjokronegoro II tahun 1963 yang pada awalnya menduduki sebagai asisten wedana.

Sampai tahun 1924, Tjondronegoro II memutuskan untuk pensiun. Sejak itu tidak ada yang menggantikannya. Selama dua tahun Sidoarjo tidak dipimpin oleh siapa pun. Kemudian tahun 1926, R. P Sumodiredjo diangkat untuk mengisi kekosongan pemimpinnya.

Namun, baru menjabat selama tiga bulan, R.P Sumodiredjo wafat dan digantikan oleh R.A.A.T Tjodronegoro. Sepanjang kepemimpinannya, terus terjadi gejolak oleh serangan Hindia Belanda.

Bahkan saat di masa kependudukan Jepang di tengah serangan Hindia Belanda, daerah delta Sungai Brantas termasuk Sidoarjo di dalamnya, terpaksa harus mengikuti perintah dari Pemerintahan Militer Jepang seperti Kaigun, maupun tentara Laut Jepang.

Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Awal Maret 1946, Belanda memanfaatkan untuk menduduki daerah hasil dari Jepang termasuk Sidoarjo. Hal itu menjadikan Belanda semakin aktif untuk menduduki tanah Indonesia.

Pada 24 Desember 1946, Belanda mulai menyerang Sidoarjo dengan serangan dari Tulangan. Sidoarjo jatuh ke tangan Belanda pada saat itu. Pusat pemerintahan Sidoarjo dipindahkan ke Jombang yang semula ada di daerah Dungus Kecamatan Sukodono.

Saat itu, kepemerintahan Belanda dikenal dengan nama Recomba. Belanda berusaha untuk terus memperbudak seperti masa kolonialnya. Bulan November 1948, kemudian dibentuklah Negara Jawa Timur salah satu dari bagian Republik Indonesia Serikat.

Sidoarjo kala itu berada di masa kepemerintahan Recomba. Hingga dibuatlah Konferensi Meja Bundar pada November 1948 dengan hasil menyerahkan kembali Negara Jawa Timur pada Republik Indonesia. Sehingga Sidoarjo dengan sebutan ‘Kota Delta’ ini dapat berdiri sendiri dengan kepemerintahan Republik Indonesia.

Kini Sidoarjo terdiri dari 18 kecamatan, 31 kelurahan, dan 322 desa yang dipimpin oleh bupati H. Saifullah dengan wakilnya H. Nur Ahmad Syaifuddin. Kota yang menjadi sebutan ‘kota delta’ dalam sejarahnya karena posisinya yang berada di kelilingi lautan, sekarang kota itu menjadi gudang dari sumber kekayaan alam khususnya udang dan bandeng. Bahkan udang menjadi smbol ikonik yang tertera pada logo Sidoarjo.

 

Reporter: Irania Zulia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pencegahan TPPO di Jogja Diperkuat, Gugus Tugas Dibentuk Kurangi Kasus

Mata Indonesia, Yogyakarta - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) semakin menjadi perhatian serius di Indonesia, termasuk di Kota Yogyakarta. Korban TPPO seringkali berasal dari kalangan Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang terjerat dalam kasus perdagangan manusia akibat berbagai faktor risiko.
- Advertisement -

Baca berita yang ini