MATA INDONESIA, JAKARTA – Dari hutan belantara di pegunungan Aceh Tengah, Siaran Radio Rimba Raya mengudara. Pemancar hasil selundupan dari Malaya ini digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera-Aceh tahun 1948 untuk menangkap dan kemudian menyiarkan informasi soal Republik Indonesia ke seluruh dunia.
Mengutip Historia, Radio Rimba Raya sebenarnya telah dipersiapkan jauh hari, bahkan sebelum Belanda melancarkan agresi militer I. Pada 2 Juli 1947, Komandan TRI Divisi X Kolonel Husein Yusuf mengeluarkan Keputusan No.0083/CD yang menetapkan Komandan Batalyon B TRI Mayor Nip Xarim sebagai penanggungjawab untuk menyempurnakan peralatan perang Divisi X.
Radio Rimba Raya didirikan untuk melakukan kontrapropaganda atas siaran radio Belanda ataupun radio lokal yang dikuasai Belanda. Pasca-agresi militer Belanda yang kedua pada 19 Desember 1948, penjajah selalu mempropagandakan bahwa RI sudah mati sehingga kedaulatan Republik belum diakui.
Melalui informasi yang disiarkan Radio Rimba Raya yang berada di pedalaman Aceh, tepatnya di Aceh Tengah (sekarang Bener Meriah) tentang resolusi dewan keamanan PBB yang ditolak oleh Belanda, disusul dengan propaganda Belanda bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi.
Muncul gagasan untuk melakukan counter serta melakukan serangan spektakuler. Hal inilah yang melatar belakangi Serangan Umum 1 Maret 1949.
Serangan ini awalnya direncanakan pada 29 Februari 1949 di bawah pimpinan Letnan Komaruddin. Mereka lebih dulu melakukan penyerangan pada 29 Februari 1949 *tahun kabisat) karena mengira bulan Februari berakhir pada tanggal 28.
Pasukan ini melakukan penyerbuan di daerah Kota Yogyakarta sampai daerah Kantor Pos, selatan jalan Malioboro. Penyerangan berhasil hingga menguasai daerah tersebut.
Akan tetapi, karena salah perhitungan tanggal, pasukan ini hanya bergerak sendiri sehingga dengan mudahnya dipukul mundur oleh tentara Belanda.
Pasukan langsung memutuskan mundur karena kondisinya tak memungkinkan melakukan perlawanan.
Barulah keesokan harinya, 1 Maret 1949, seluruh kekuatan dikerahkan untuk melakukan penyerangan. Sirine yang menjadi penanda berakhirnya jam malam, oleh pasukan Indonesia digunakan sebagai sinyal memulai serangan.
Pertempuran memuncak sekitar pukul 11.00, ketika bala bantuan musuh datang dari arah Magelang yang terdiri dari pasukan kavaleri NICA dan komando Gajah Merah.
Pasukan Indonesia akhirnya mundur setelah selama enam jam menguasai Yogyakarta, dan menuju Tanjungtirto serta Maguwo keesokan harinya.
Kemudian, setelah melakukan serangan, sekitar 2 hari kemudian informasi keberhasilan kembali disiarkan oleh Radio Rimba Raya.
Dunia pun mendengar, Indonesia masih ada.
Reporter: Indah Utami