Pertempuran Iwo Jima, Taktik Cerdas Jenderal Tadamichi Kuribayashi

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Salah satu pertempuran yang paling penting dan berdarah pada Perang Dunia II atau Perang Pasific,  adalah pertempuran Amerika merebut pulau Iwo Jima dari tangan Jepang.

Pertempuran Iwo Jima terjadi selama bulan-bulan terakhir Perang Dunia II pada tahun 1945. Peristiwa tersebut dianggap keramat dalam sejarah militer Amerika, dimana pertempuran Iwo Jima telah menjadi contoh untuk semangat juang angkatan bersenjata AS, khususnya Korps Marinir.

Pertempuran Iwo Jima berlangsung selama lima minggu, dari 19 Februari hingga 26 Maret 1945, ketika pasukan AS berhasil mengamankan pulau itu. Pertempuran itu menjadi saksi atas beberapa pertempuran paling sengit di Pasifik, dengan hampir 7.000 Marinir AS tewas dan 20.000 lainnya terluka.

Pulau Iwo Jima
Pulau Iwo Jima

Dimanakah Iwo Jima?

Iwo Jima adalah sebuah pulau vulkanik kecil yang berjarak sekitar 650 mil laut (1.200 km) di selatan Tokyo. Pulau ini merupakan bagian kecil dari wilayah Jepang, dimana pulau ini hanya berukuran delapan mil persegi (21 km persegi) dan merupakan bagian dari kepulauan Kepulauan Volcano.

Selama Perang Dunia II, Jenderal Tadamichi Kuribayashi yang merupakan komandan garnisun Jepang berkekuatan 22.000 orang, mengubah pulau itu menjadi sebuah benteng. Pada musim dingin 1944 hingga 1945, ia memasang garis pertahanan, bunker, terowongan, parit, dan benteng gua.

Pertempuran antara Jepang dan Amerika memang benar-benar terjadi di pulau Iwo Jima, Jepang, tepatnya saat Perang Dunia II. Pulau Iwo Jima memiliki dua lapangan terbaik yaitu South Field dan Central Field, hal ini membuat Amerika kemudian melakukan invasi yang dinamakan Operasi Detasemen untuk merebut pulau Iwo Jima dan dua lapangan terbang tersebut.

Dalam Perang Dunia II, pertempuran Iwo Jima merupakan perang yang alot di Pasifik. Kedua belah pihak yang berperang memiliki kekuatan yang sama besar.

Ada seorang warga Indonesia yang bergabung di militer Amerika, R.S. Boender, mengakui bahwa dibandingkan dengan pertempuran lain, perang di Iwo Jima ini adalah yang tersulit.  Militer AS mengakui bahwa taktik perang milik Letnan Jenderal Tadamichi Kurubayashi merupakan taktik yang brilian.

Letnan Jenderal Tadamichi Kuribayashi memiliki sikap dan strategi yang berbeda dengan kolega lainnya. Sebelum membangun pertahanan di Pulau Iwo Jima, Kuribayashi memerintahkan penduduk sipil untuk menyingkir ke daratan Jepang. Menurutnya sebuah pangkalan militer harus bersih dari penduduk sipil karena takut akan menghambat operasi militer yang ada.

Jenderal Kuribayashi
Jenderal Kuribayashi

Kuribayashi memilih untuk membangun benteng-benteng beton di bawah tanah karena yakin pulau yang tertutup pasir hitam Gunung Suribachi dan Karang yang kuat menahan bom yang dikirim oleh pasukan Amerika.

Dalam buku Perang Pasifik (P.K. Ojong, 2001: 271) pulau itu berwarna hitam tertutup pasir Gunung Suribachi. Di sebelah Tengah dan Utara terdapat jurang-jurang karang yang tinggi. Luasnya hanya sekitar 21 km dengan permukaan yang datar. Sangat terbuka untuk sebuah serangan ampibi dalam skala besar.

Kuribayashi menciptakan pertahanan bawah tanah dengan meriam-meriam tersembunyi yang langsung mengarah ke arah pantai. Ia meninggalkan pola pertahanan tradisional Jepang yang terkenal dengan serangan “Banzai”. Sebuah serangan langsung dalam jumlah besar yang mencoba menghentikan musuh di daerah pendaratan di pantai. Menurutnya hanya sebuah tindakan pemborosan sumber daya manusia dan sia-sia. Amerika pasti bisa menguasai Iwo Jima, namun Kuribayashi bertekad menimbulkan penderitaan dan korban yang lebih banyak dari pasukannya.

Peran dari mortir-mortir raksasa yang tersemunyi di lubang-lubang yang terletak di lereng pegunungan sangat membantu. Mortir-mortir itu berdiameter 320 mm dan merupakan mortir terbesar selama Perang Dunia Ke-2.

Posisinya sangat sulit ketahuan, karena Kuribayashi menggunakan mesiu yang tidak mengeluarkan asap (smokles powder). Akibatnya ribuan prajurit sekutu tewas dan terluka parah sebelum bisa sampai ke bibir pantai. Kondisi korban-korban prajurit sekutu menurut seorang dokter kapal medis AL Amerika;  ”Saya pernah berhadapan dengan serdadu-serdadu yang luka di Normandia, tapi belum pernah dengan luka-luka yang begitu rusak seperti di Iwo Jima.” (P.K. Ojong, 2001: 264).

Pada 16 Februari 1945 Armada Amerika mulai bergerak ke pulau Iwo Jima. Awalnya pendaratan mereka berjalan mulus. Namun ketika jam 9, bunyi bunyi senapan dan dan meriam Jepang mulai menyerang.

Mendengar suara tersebut tentara Amerika bergerak dengan tubuh yang tiarap. Namun Jepang langsung menyerang dengan mortir raksasa. Hal itu membuat tentara Amerika berjatuhan. Kuribayashi tidak memperbolehkan pasukannya untuk melakukan serangan banzai. Tentara Jepang hanya diam di dalam benteng sembari menghabisi musuh sebanyak-banyaknya.

Pada awal Maret 1945, perlawanan pasukan Jepang mulai mereda. Pasukan AS dengan kekuatan yang banyak berhasil mengalahkan Jepang. Saat Pasukan AS menyisir satu persatu pasukan Jepang, mereka tak pernah menemukan Jasad Jenderal Kuribayashi. Ia kabarnya memilih harakiri bersama pasukan Jepang yang masih setia dan tak mau menyerah dengan cara meledakkan markas pertahanannya.

Amerika berhasil memenangkan pertempuran di Iwo Jima. Mereka berhasil mengibarkan bendera mereka di reruntuhan dan merebut puncak gunung Surabachi.

Selama sebulan pertempuran Iwo Jima, dari pihak Amerika, korban yang berjatuhan hampir 27.000 prajurit. Dengan rincian 6.821 orang tewas dan 20.000 lainnya terluka parah. Sementara di pihak Jepang, dari 23 ribu prajurit hanya tersisa sekitar 200 orang yang hidup dan menjadi tawanan.

Perang ini menjadi perang yang paling berdarah dan fenomenal di Perang Dunia II karena banyaknya korban, dan cerdiknya Jenderal Kuribayashi dalam membuat taktik pertahanan.

Reporter: Dinda Nurshinta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini