Perang Puputan di Bali Ternyata Terjadi Tiga Kali

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sejarah bangsa Indonesia pada masa penjajahan tak luput dari perjuangan rakyat di tiap daerah. Bali sebagai salah satu wilayah yang memiliki sejarah kerajaan turut berjuang untuk mengusir Belanda dari Nusantara.

Perjuangan masyarakat Bali dalam memberikan perlawanan sengit Belanda terjadi pada abad ke-19. Perang itu disebut dengan Perang Puputan atau perang hingga titik darah penghabisan. Perang Puputan terjadi karena Belanda ingin menguasai Bali.

Namun, tahukah kamu kalau Perang Puputan di Bali sebenarnya terjadi tiga kali. Salah satunya yang paling terkenal adalah Perang Puputan Margarana yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Akan tetapi, perang pasukan Ciung Wanara itu bukanlah Perang Puputan pertama.

Perang Puputan di Pantai Buleleng lah yang menjadi Perang Puputan pertama. Terjadi karena Belanda ingin menghapus hak tawan karang yang sudah menjadi tradisi turun temurun di Bali. Hak tawan karang merupakan hak raja Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya.

Hal ini menjadi perdebatan lantaran masyarakat Bali tidak ingin menghapus tradisi tersebut. Pada tahun 1844, Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki meriam. Korban pun berjatuhan hingga Belanda berhasil menduduki satu per satu wilayah sekitar istana raja. Pada akhirnya, I Gusti Made Karangasem mengambil siasat untuk pura-pura menyerah kepada Belanda.

Namun, perlawanan tak berhenti sampai di situ. I Gusti Ketut Jelantik, patih Kerajaan Buleleng tetap melanjutkan perlawanan. Ia memindahkan tempat perlawanan ke daerah yang berpusat di Jagaraga. Pertempuran kembali terjadi dan Belanda mendatangkan pasukan secara besar-besaran.

Benteng Jagaraga ditembaki meriam dan korban pun berjatuhan. Namun, semangat rakyat Bali dalam satu kesatuan Laskar Jagaraga tidak pudar. Sayang, Belanda berhasil memenangkan perang tersebut pada April 1849.

55 tahun berlalu sejak Perang Puputan Buleleng, di tahun 1904 Perang Puputan Kembali terjadi di wilayah Kerajaan Badung, Bali. Bermula dari kesalahpahaman Belanda yang mengira bahwa penduduk desa sekitar Pantai Sanur ingin menjarah muatan kapal. Padahal, saat itu kapal berbendera Belanda milik Kwee Tek Tjiang yang bernama Sri Kumala sedang dalam kondisi kandas.

Belanda menuntut Raja Badung untuk membayar 3 ribu ringgit. Raja Badung tegas menolaknya. Penolakan tersebut berujung serangan militer Belanda. Raja Badung meyakini bahwa hal tersebut sebenarnya hanya akal-akalan Belanda untuk melancarkan ekspedisi militer.

Sebelum melakukan aksi militer, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Joannes Benedictus van Heuts telah mengirim surat kepada Menteri Jajahan pada 1905. Surat tersebut menyatakan Raja Badung harus patuh kepada Belanda dan menyerahkan kekuasaannya.

Pasukan Belanda kemudian melancarkan aksinya pada 1906 dengan mendatangi wilayah kekuasaan Kerajaan Badung. Mereka menghujani bom lewat kapal perang Belanda. Alhasil, istana, puri, dan rumah warga terbakar. Dalam kondisi terdesak, Raja Badung tetap melakukan perlawanan.

Situasi perang semakin tidak mencekam. Tembakan pertama pasukan Belanda berhasil menewaskan Raja Badung. Insiden tersebut membuat perlawanan rakyat Bali semakin gencar.

Prajurit Bali pun banyak yang terluka setelah mendapat rentetan tembakan yang tanpa henti hingga akhirnya Belanda tampil sebagai pemenang. Perang tersebut berlangsung cukup singkat, hanya dalam waktu 1 jam.

Selang 40 tahun kemudian, baru lah Perang Puputan Margarana terjadi. Perang Puputan Margarana adalah peristiwa pertempuran habis-habisan pasukan Resimen Sunda Kecil pimpinan I Gusti Ngurah Rai melawan Belanda. Pertempuran itu berpusat di Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan Bali, pada 20 November 1946.

Reporter: Indah Utami

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Bupati Sleman Apresiasi Sebagai Sarana Menyatukan Warga

Mata Indonesia, Sleman - Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo menghadiri Kirab Budaya dalam rangka Merti Desa ‘Mbah Bregas’ Kalurahan Margoagung, Seyegan yang digelar di Balai Ringin Ngino, Sabtu, (4/5). Pada kesempatan tersebut, Kustini juga turut melakukan prosesi penuangan 7 kendi air suci di Ringin Ngino Mbah Bregas.
- Advertisement -

Baca berita yang ini