MATA INDONESIA, JAKARTA – Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diadakan pada 2 Agustus 1969 menandai sejarah di Papua bagian barat. Pepera dilakukan untuk menentukan Papua bagian barat tetap bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka.
Salah satu tokoh pejuang Pepera 1969, Silo Sukarno Doga, dinilai layak diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional. Pada masa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, Silo Doga, kepala suku besar yang paling berpengaruh di masyarakat pegunungan tengah, Jayawijaya, Papua, menyatakan kesetiaannya bergabung dengan NKRI.
Pada 1960-an, Silo Doga bersama kepala-kepala suku lainnya dari sejumlah daerah di Irian Barat pernah diundang ke Istana Presiden di Jakarta oleh Presiden Soekarno. Saat itulah terjadi ikrar kesetiaan para kepala suku pegunungan tengah Papua, dipimpin oleh Silo Doga di hadapan Presiden Soekarno.
Silo Doga meminta agar nama Soekarno digabungkan dalam namanya menjadi Silo Soekarno Doga sebagai simbol persaudaraan, kasih dan kesetiaan. Setelah kembali ke Papua, tepatnya di Jayawijaya, wilayah ulayatnya dinamakan Distrik Silo Karno Doga. Distrik Silo Karno Doga merupakan distrik dengan wilayah terluas di Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Pepera dilaksanakan di Papua Barat dengan musyawarah sesuai dengan sistem Indonesia. Sistem ini sangat berlawanan dengan isi Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia yang berisi, Pepera 1969 dilaksanakan dengan sistem dan mekanisme Internasional, yaitu one man one vote.
Pepera dilaksanakan melalui tiga tahap. Tahap pertama, melakukan konsultasi dengan dewan Kabupaten Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera pada 24 maret 1969. Tahap kedua, diadakan pemilihan Dewan Musyawarah pepera yang berakhir pada Juni 1969. Tahap ketiga dilaksanakan pepera dari kabupaten Merauke dan berakhir pada 4 Agustus 1969 di Jayapura.
Menurut laporan resmi PBB, Annex1 paragraf 189-200, pada 14 Juli 1969, Pepera dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu, kelompok besar tentara Indonesia hadir. Aktivis Papua, Filep Karma, menganggap one man one vote tidak cocok untuk Papua. Papua dianggap masih terbelakang dan tidak siap untuk referendum.
Pada Mei 1967, Asisten Ali Moertopo, Jusuf Wanandi dikirim ke Papua untuk mendalami persiapan referendum. Dalam laporannya, Wanandi menyebut jika diadakan pemungutan suara di tahun 1968, Indonesia pasti kalah. Wanandi mengusulkan, sebaiknya pemungutan suara ditunda sampai 1969.
Pada 1969, hanya 1.025 orang yang dipilih pihak Indonesia untuk 100 persen mendukung integrasi dengan Indonesia. Mereka diancam dan dipaksa memilih Indonesia. Ini secara prinsip bertentangan dengan Perjanjian New York.
Rasa tentram orang Papua hilang ketika orang-orang Papua yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Para aparat menggedor rumah tanpa pandang bulu.
“Apakah di sini menyembunyikan pentolan OPM?” teriak tentara.
Tuduhan sebagai OPM sama terkutuknya dengan tuduhan PKI di luar Papua. Begitu tertuduh, seseorang akan jatuh miskin dan ditangkap. Toko-toko di Jalan Irian dipaksa pindah tangan. Para pemilik banyak yang dituduh sebagai anggota OPM dan ditangkap.
Pada November 1969, Dewan Musyawarah Pepera memutuskan, Papua bagian Barat tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia. Hal ini disetujui PBB dalam sidang umumnya pada 19 November 1969.
Reporter : Ade Amalia Choerunisa