MATA INDONESIA, JAKARTA- Abu Farros, 43 tahun, warga Surabaya, pernah ke Suriah dan berbaiat kepada ISIS. Ia kini sudah bebas dari hukuman penjara. Saat ini ia berusaha aktif kampanye melawan ekstremisme
Abu, panggilan Abu Farros terpikat menjadi ‘jihadis radikal’ melalui propaganda di internet. Bersama temannya Husni ia bersinggungan dengan seorang perekrut ISIS. Melalui proses panjang, perlahan-lahan Abu terdorong ke dalam ekstremisme.
Abu kini sudah bertobat dan mendapat banyak pelajaran penting. Saat diwawancarai BBC, Abu menceritakan tentang perjalanan dari Indonesia ke Suriah. Berikut kisahnya
Abu Farros
Pria satu ini bergabung dengan kelompok ISIS pada tahun 2013, setelah melihat film propaganda melawan pimpinan Suriah yang dikuasai rezim Bashar al-Assad di media sosial. Sebagai seorang Muslim Sunni yang taat, ia tidak suka dengan kesewenang-wenangan Bashar yang condong kepada Syiah.
Abu Farros yang tinggal dan besar di kawasan Ampel, Surabaya — wilayah yang didiami warga peranakan Arab, bertekad ke Suriah. Ia dan temannya Husni merasa tergerak untuk membantu perjuangan kaum Sunni di Suriah. Kebetulan keduanya punya bisnis jual beli baju koko. Husni kemudian mengajak Abu Farros untuk membantu saudara-saudara mereka melawan rezim Bashar al-Assad.
Husni memperkenalkan Abu Farros dengan anggota ISIS yang bernama Salim Mubarok Attamimi. Mereka bertemu di rumah makan sate di Malang.
Dalam pertemuan itu, teman yang kemudian dikenal sebagai Abu Jandal mampu membujuk Abu dan Husni untuk segera pergi ke Suriah.
Keduanya hanya diminta untuk membuat paspor dan membawa uang sebesar USD 500. Abu Janda pun mewanti-wanti supaya Husni dan Abu Farros tidak memberitahukan keberangkatan ini ke keluarganya.
Akhirnya pada Maret 2014, mereka berangkat dari Bandara Soekarno Hatta menuju Suriah bersama 19 orang lainnya. Setelah transit di Kuala Lumpur, Malaysia, rombongan tersebut terbang ke Istanbul, Turki dan berlanjut ke Kota Gaziantep, sebelum menyeberang ke Suriah.
Sesampainya disana, belasan warga Indonesia ditempatkan di sebuah wilayah perdesaan yang berada tidak jauh dari Kota Aleppo.ditempatkan di sebuah wilayah pedesaan di luar Kota Aleppo. Situasinya desa itu mengerikan, menurut Abu Farros, mirip desa-desa yang hancur akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Awalnya, Abu Farros dan Husni ditugaskan untuk menolong anak anak yang telantar akibat perang saudara. Tapi, pada kenyataanya mereka malah mengikuti latihan militer selama dua bulan. Saat itu, ia mampu menggunakan senjata AK 47 dan harus siap berkorban demi anggota kelompok ISIS.
Abu Farros mengaku situasi yang dihadapinya mencekam dan berbahaya. ”Saya tidak bisa tidur selama dua bulan. Saya selalu teringat dengan anak saya dan memikirkan tentang masa depannya,” kata Abu Farros.
Rupanya kekejaman perang yang dia saksikan sendiri membuatnya “tidak siap”. ”Nah, saya mulai sadar, saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia,” katanya
Dalam kondisi tersebut, ia berusaha keras untuk menelpon keluarganya yang ada di Surabaya. Ia menambahkan bahwa istri beserta anaknya sangat merindukanya. “Pulang, pulang mas,” kata istrinya lewat telfon sambil menangis. Dari situ, ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Namun, hal itu tidak mudah karena paspor miliknya dipegang oleh Abu Jandal.
Abu Farros terus memaksa Abu Jandal untuk membiarkannya pulang. Ia pun meminta ibunya untuk memohon kepada Abu Jandal supaya diizinkan pulang. ”Abu Farros itu punya ibu, jihad itu tidak harus ke Suriah. Bakti ke orang tua itu termasuk jihad,” kata Abu Farros menirukan cerita ibunya yang menelpon Abu Jandal. Akhirnya pada pertengahan bulan Agustus 2014, ia berhasil pulang ke Indonesia.
Sayangnya, Husni menolak untuk pulang karena takut ditangkap di Indonesia. Yang tidak diinginkan pun terjadi, sahabatnya itu meninggal dunia karena terkena ledakan bom. Setelah kejadian itu, Abu Farros sangat menyesal dan berjanji di hadapan ibunya, istri, anak-anaknya, dan keluarga besarnya, kesalahannya bergabung ISIS ke Suriah.
Kondisi ibunya yang sakit akibat memikirkan tindakannya juga membuat “matanya terbuka”. Di hadapan ibunya dia bersumpah tidak mengulangi perbuatannya. “Saya janji kepada ibu saya.”
Tiga tahun kemudian ayah tiga anak ini ditangkap Densus 88 dan divonis 3,5 tahun penjara pada 2018 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena terbukti bergabung dengan ISIS. ia hanya menjalani hukuman 2,5 tahun karena mendapat keringanan.
Abu Farros bercerita bagaimana kondisinya ketika dipenjara. ”Ketika di dalam penjara, saya sadar bahwa setiap perbuatan pasti ada resiko yang harus dipertanggungjawabkan,” kata Abu Farros.
Pada 29 Mei 2020, Abu Farros menghirup udara bebas dan dia mengaku sepenuhnya sudah berubah. ”Islam itu rahmatan lil alamin, tidak meneror. Islam itu memberikan akhlak. Jadi dakwah itu bisa lewat akhlak (berbuat baik), bukan lewat yang lain-lain,” ujarnya.
Saat memulai bisnis, Abu mengaku agak minder. Kebetulan rekanan bisnisnya beragama Kristen. Awalnya ia merasa rekanannya itu “lebih bersikap hati-hati” terhadap dirinya. Namun ketakutannya itu, ternyata, terlalu berlebihan. Buktinya, ”Saya tetap dihutangi lagi, karena saya baik dengan dia, dan dia baik dengan saya,” ujar Abu Farros tertawa kecil.
Belajar dari pengalamannya dulu, dia mengatakan kepada siapapun agar tidak menelan mentah-mentah informasi yang beredar di media sosial. Termasuk memaknai jihad? ”Jihad itu artinya sungguh-sungguh. Kita berbuat baik dan bersungguh-sungguh itu jihad.”
Jadi, apa jihad Anda sekarang? “Mengayomi keluarga sebagai kepala rumah tangga dan bertanggungjawab, itu namanya jihad.”
Dia juga menerima Pancasila sebagai dasar negara dan semua aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Reporter : R Al Redho Radja S