MINEWS, JAKARTA – Masyarakat Indonesia tampaknya harus mengambil pelajaran dari peristiwa Arab Spring, yang terjadi 8 tahun yang lalu. Sebuah tragedi yang dimulai dari penyebaran berita ‘hoax’ atau bohong yang beredar di media sosial.
Akibat terlalu mempercayai berita dari media sosial tersebut, sebuah negara pun hancur seketika akibat konflik horizontal. Tak hanya negara yang menjadi korban, rakyat pun ikut merasakan derita gegara menelan mentah-mentah informasi dari media sosial.
Lalu seperti apa kisah Arab Spring tersebut? Semuanya berawal dari Mohamed Bouazizi pada 18 Desember 2010. Ketika itu, pria berusia 26 tahun bersiap-siap untuk menjual buah dan sayuran di kota pedesaan Sidi Bouzid, Tunisia.
Aktivitas itu rutin dilakukan demi mencari nafkah untuk ibu dan enam saudara kandungnya. Namun, saat itu dirinya diminta oleh polisi untuk menyerahkan gerobak dagangannya lantaran tidak memiliki izin berdagang.
Permintaan polisi tersebut langsung ditolaknya, dan berimbas pada tamparan yang diberikan oleh seorang polisi. Marah setelah dipermalukan di depan umum, Bouazizi berjalan di depan gedung pemerintah dan membakar dirinya sendiri.
Saat kejadian, ada pihak yang merekam aksi Bouazizi tersebut dan menjadi viral ke sosial media.
Dengan kesuksesan protes di Tunisia, gelombang kerusuhan menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman. Hingga Juli 2011, unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan sejumlah kepala negara. Para pemimpin otoriter yang berdiri lama tersapu dari kekuasaan, contoh saja Hosni Mubarak di Mesir dan Zine el-Abidine Ben Ali di Tunisia.
Tak hanya penggulingan kekuasaan, selama periode kerusuhan regional ini beberapa pemimpin negara secara sukarela mengurungkan keinginannya untuk mencalonkan diri lagi setelah masa jabatannya berakhir. Contoh saja Presiden Sudan Omar al-Bashir, Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, Presiden Ali Abdullah Saleh dari Yaman.
Namun nasib naas dialami Pemimpin Libya Muammar al-Gaddafi yang menolak mengundurkan diri. Keputusan Gaddafi ini mengakibatkan perang saudara antara pihak loyalis dan pemberontak yang berbasis di Benghazi. Dan Gaddafi akhirnya tewas dibunuh oleh pasukan transisi pada 20 Oktober 2011.
Banyak yang berharap bahwa era ‘Arab Spring’ ini akan membawa masuk pemerintah baru dan akan memberikan reformasi politik dan keadilan sosial. Tapi kenyataannya lebih banyak perang dan kekerasan terhadap orang-orang yang berani berbicara untuk masyarakat yang lebih terbuka.
Kini delapan tahun berlalu, sisa-sisa kekerasan politik dan ekonomi yang buruk telah menenggelamkan Tunisia, Suriah, Libya dan Yaman ke dalam perang sipil yang berdarah. Bahkan kerusuhan ketika itu meluas ke Mesir, Irak dan Bahrain, serta mengacaukan pemerintahan dari Maroko ke Arab Saudi.
Ketidakstabilan politik juga telah menciptakan ruang di mana kelompok jihad dapat berkembang, sehingga memunculkan organisasi jihad multinasional. Selain itu, di negara-negara di mana ada populasi Sunni atau Syiah yang tidak memiliki kekuatan politik, seperti di Suriah, Irak, Yaman dan Bahrain, masuk ke dalam persaingan Iran-Saudi yang lebih luas. Dalam kasus ini, konflik semacam itu dapat berubah menjadi perang proxy antara Arab Saudi dan Iran, alhasil menarik keterlibatan AS dan Rusia.
Pada akhirnya, ‘Arab Spring’ tidak memecahkan krisis legitimasi pemerintah di negara-negara Timur Tengah, namun hanya menghasilkan represi tambahan yang cukup untuk menjadi ‘bom waktu’ perpecahan di kemudian hari.
Hal ini membuat negara Barat salah paham dan salah mengkarakterisasi ‘Arab Spring’. Karena mereka bertanya apakah ini sebuah “kegagalan intelijen”, keputusan buruk mereka yang berkuasa, ketidaktahuan akan sejarah wilayah ini atau hanya sebuah contoh dari kesombongan untuk menguasai dunia Arab?.
Warisan ‘Arab Spring’
Apa warisan Musim Semi Arab? Jawabannya perang sipil yang menghabiskan korban jiwa dan biaya perang, dan membuat daerah-daerah di sekitar Arab menjadi tidak stabil. Hal ini terbukti beberapa wilayah menjadi tempat latihan bagi sejumlah besar jihadis, dengan kemunculan ISIS.
Konflik ini juga mengakibatkan penyebaran senjata gelap ke seluruh wilayah dan penyebaran gerakan jihad yang akan membuat kondisi masyarakat tidak stabil. Semisal Libya telah menjadi pusaran jihadisme radikal dan kekerasan politik dan merambah ke wilayah Maroko sampai Somalia.
Kemudian Suriah menjadi sumber pengungsi yang membanjiri Eropa dan menimbulkan masalah keamanan serius di sana. Sementara Yaman, bahkan lebih dari Suriah. Negara ini telah menjadi kontes proxy yang pahit antara Arab Saudi dan Iran.
Warisan berikutnya adalah stagnasi ekonomi di Timur Tengah. Kekacauan politik dan penyebaran kelompok jihad ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi, salah satunya pariwisata, sebuah industri besar di Mesir, Tunisia dan Yordania.
Secara keseluruhan, pendapatan pariwisata di Mesir dan Tunisia turun sekitar 40 persen selama beberapa tahun terakhir. Penurunan harga minyak juga telah membatasi keuangan Arab Saudi dan negara-negara petro lainnya, dan mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran dan kesengsaraan manusia.
Sementara media Barat mencirikan pemberontakan di sejumlah wilayah Arab tersebut sebagai pemberontakan demokrasi populer melawan rezim diktator korup. Seperti yang dicatat oleh komentator urusan internasional George Friedman, “Bagi media Barat, siapapun yang berusia di bawah 30 tahun dengan iPhone adalah seorang demokrat liberal.”
Berbeda dengan George Friedman, Direktur Penelitian Institut Brookings di Doha, Shadi Hamid mengatakan bahwa dunia Arab adalah tempat yang konservatif dan orang-orang umumnya ingin melihat Islam memainkan peran penting dalam kehidupan publik. “Amerika harusnya belajar hidup dengan Islam politik.”
Seputar Arab Spring:
– Tunisia : Pemerintah digulingkan pada 14 Januari 2011. Presiden Zine el Abidine Ben Ali melarikan diri. Pemilu untuk Majelis Konservatif diadakan pada 23 Oktober 2011.
– Mesir : Pemerintah digulingkan pada 11 Februari 2011. Presiden Hosni Mubarak mundur, menghadapi tuduhan membunuh demonstran tak bersenjata. Pemilihan diadakan pada 28 November 2011. Protes berlanjut di Tahrir Square.
– Libya : Protes anti-pemerintah dimulai pada 15 Februari 2011, yang menyebabkan perang saudara antara pasukan oposisi dan loyalis Moammar Gadhafi. Tripoli ditangkap dan pemerintah digulingkan pada 23 Agustus. Gadhafi dibunuh oleh pasukan transisi pada 20 Oktober.
– Suriah: Protes untuk reformasi politik telah berlangsung sejak 26 Januari 2011 dengan bentrokan antara tentara Suriah dan warga. Pada bulan Juli, 136 orang terbunuh saat tentara Suriah menyerang beberapa kota. Dan melahirkan kelompok radikal ISIS.
– Yaman : Protes yang sedang berlangsung sejak 3 Februari 2011. Presiden Ali Abdullah Saleh cedera dalam serangan pada 4 Juni. Pada 23 November, dia menandatangani sebuah perjanjian perpindahan kekuasaan yang mengakhiri masa pemerintahannya selama 33 tahun.
Protes dan pemberontakan yang terkait dengan ‘Arab Spring’ juga terjadi di negara-negara lain, termasuk: Aljazair, Irak, Yordania, Kuwait, Maroko dan Oman.
Jumlah Korban ‘Arab Spring’
– 11 miliar orang terpaksa mengungsi sejak tahun 2011.
– 50 orang tewas dan terluka saat melakukan demonstrasi di Sana’a, Yaman, pada tanggal 18 Maret 2011.
– 250 ribu orang tewas dalam konflik bersenjata di Suriah sejak 15 maret 2011.
– 6.000 orang terluka oleh pasukan keamanan Mesir selama “Revolusi 25 Januari” di tahun 2011.
– 65.000 orang telah ditangkap oleh pasukan keamanan Suriah dan sekarang hilang.
– 2,5 juta orang butuh bantuan kemanusiaan di Libya.