Murid HOS Tjokroaminoto yang Jadi Tokoh Nasional

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – HOS Tjokroaminoto dikenal sebagai Pahlawan Nasional. Selain menjadi pimpinan SI, ia juga menjadi guru besar bagi para tokoh di Indonesia.

Rumahnya sempat dijadikan tempat tinggal para tokoh yang menimba ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo hingga Tan Malaka pernah berguru padanya.

Rumah Tjokroaminoto berada di sebuah Gang Paneleh VII No. 29-31, ditepi Sungai Kalimas, Surabaya. Saat itu ia masih berusia 33 tahun dan tidak memiliki penghasilan lain, selain dari rumah kost yang dihuni 10 orang, termasuk Soekarno, Semaeon, Kartosoewirjo. Setiap orang membayar 11 ringgit ke istri Cokroaminoto, Soeharsikin yang mengelola keuangan mereka. Di rumahnya pun, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur sering bertukar pikiran.

Soekarno tinggal di rumah Tjokroaminoto saat usianya masih 15 tahun. Ayahnya, Soekemi Sosrodihardjo, menitipkan anaknya (Soekarno) yang melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burger School (HBS).

Dalam salah satau biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, Soekarno menjadikan Tjokroaminoto sebagai idolanya. Ia belajar mengenai menggunakan politik sebagai kesejahteraan rakyat. Ia juga mempelajari bentuk-bentuk modern pergerakan, seperti pengorganisasian massa dan pentingnya menulis di media. Terkadang, ia menulis menggantikan Tjokroaminoto di surat kabar harian Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima. Ia juga sesekali meniru gaya berpidato Tjokroaminoto. Ia menikah dengan dengan anaknya Tjokroaminoto, Siti Oetari yang menjadi istri pertamanya.

Selain Soekarno, terdapat nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Saat muda, ia sudah tertarik pada dunia pergerakan saat bersekolah di Nederlandsch Indische Artsen School atau Sekolah Dokter Jawa yang berada di Surabaya pada 1923. Kartosoewirjo suka membaca buku milik pamannya, Mas Marco Kartodikromo yang sebagian besar bukunya beraliran kiri dan sosialisme.

Pamannya dikenal sebagai wartawan dan aktivis SarekatIslam Merah. Kartosoewirjo terpengaruh dengan buku bacaannya dan memutuskan terjun ke dunia politik bergabung dengan Jong Java, kemudian Jong Islamieten Bond.

Guru utamanya di dunia pergerakan serta guru agama adalah Tjokroaminoto. Ia begitu mengagumi gurunya ini yang sering bernarasi di berbagai pertemuan. Ia menawarkan diri menjadi murid dan tinggal di rumah Tjokroaminoto di Surabaya. Untuk membayar uang kost-an, ia bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Berkat ketekunan dan kecerdasannya ia diangkat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto.

Tulisan-tulisannya yang menentang para bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) bekerjasama dengan Belanda menjadi ciri khas tulisan Tjokroaminoto, di dalamnya menampakkan pandangan politik yang radikal. Kartosoewirjo tinggal bersama Tjokroaminoto hingga 1929.

Semaoen muncul di dunia politik saat dia masih berusia 14 tahun. Pada tahun 1914, ia tergabung di dalam SI Merah di Surabaya. Lalu, pada 1915 ia bertemu dengan Henk Sneevliet tokoh komunis Belanda. Akhirnya, ia bergabung dengan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) atau Organisasi Sosial Demokrat Hindia Belanda cabang Surabaya.

Aktivitasnya yang sibuk di dunia pergerakan membuat ia berhenti bekerja di perusahaan kereta Belanda. Saat pindah ke Semarang, Semaoen menjadi redaktur surat kabar VSTP bahasa Melayu, dan Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran SI Semarang.

Pada 1918, Semaoen yang menjadi murid Tjokroaminoto menjadi anggota dewan pemimpin di SI. Selaku ketua SI di Semarang, ia sering terlibat dengan pemogokan buruh. Bersama dengan Alimin dan Darsono, ia mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk menyebar luaskan dan memperkuat komunis di Hindia Belanda.

Setelah Tjokroaminoto meninggal, lahirlah pergerakan warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya, yaitu kaum sosialis atau komunis dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin. Soekarno yang nasionalis dan Kartosoewirjo yang Islam. Murid-murid Tjokroaminoto itu saling berselisih menurut paham masing-masing.

Meski berselisih, hubungan mereka sebenarnya baik. Soekarno berteman dekat dengan Kartosoewiryo, Semaoen maupun Muso. Mereka sering berdebat namun akur saat makan malam bersama.

Pengaruh kekuatan politik pada masa itu memungkinkan pemimpin yang saling berhadap-hadapan hingga terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan PKI karena memproklamasikan “Republik Soviet Indonesia” dipimpin oleh Muso. Dengan terpaksa Soekarno yang pada saat itu menjabat sebagai Presiden RI mengirimkan pasukan elite TNI, yaitu Divisi Siliwangi yang mengakibatkan “abang”, panggilan Soekarno ke Muso, pemimpin PKI tertembak mati pada 31 Oktober 1948.

Pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia karena ia kecewa terhadap pemerintah dan membulatkan tekadnya. Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan bergabung.

Perjuangannya berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melakukan pencarian yang panjang di Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Lalu, ia mendapatkan hukuman mati oleh Soekarno pada 12 September 1962. Kabarnya, Soekarno menangis saat ia menandatangani surat eksekusi tersebut.

Reporter: Laita Nur Azahra

 

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Tindakan OPM Semakin Keji, Negara Tegaskan Tidak Akan Kalah Lawan Pemberontak

Organisasi Papua Merdeka (OPM) banyak melancarkan aksi kekejaman yang semakin keji. Maka dari itu, negara harus tegas untuk tidak...
- Advertisement -

Baca berita yang ini