Misteri Kematian Jan Pieterszoon Coen, Tewas karena Kolera atau Dibunuh Intel Mataram?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kematian Jan Pieterszoon Coen hingga kini masih menjadi teka-teki. Akhir hidup Gubernur Jenderal VOC yang ke-4 dan ke-6 ini bermunculan dengan beragam versi.

Coen wafat pada 21 September 1629, tepat 3 hari setelah penyerangan kedua dari bala tentara Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.

Menurut sejarawan Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007), Coen meninggal karena sakit perut atau penyakit kolera yang dideritanya. Wabah kolera yang menjangkiti air di Batavia ini diyakini karena diracun tentara Mataram.

Namun menurut sejarawan Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001), Coen meninggal karena dipenggal oleh tentara Mataram. Kemudian kepalanya dibawa ke Mataram, dan dikuburkan di tangga Imogiri, makam raja-raja kesultanan Mataram.

“Ini simbol, bila orang hendak ke pemakaman itu ia terlebih dulu seakan menginjak kepala Coen,” katanya.

Sementara sumber yang dianggap versi Belanda, menyebut Coen dimakamkan di balai kota Batavia (Taman Fatahillah) dan kemudian dipindahkan ke Museum Wayang. Namun pada 1939, pernah diadakan penggalian pada tempat yang dipercaya sebagai makam Coen itu, tapi tak ditemukan apapun.

Namun ada juga versi lain yang mengatakan, Coen mati dipegal oleh seorang Intel dari Kerajaan Mataram yang bernama Nyimas Utari Sanjaya Ningrum.

Menurut penjelasan Ustaz Sukandi, tokoh masyarakat Desa Keramat, tempat Nyimas Utari Sanjaya Ningrum dimakamkan, wanita tersebut merupakan agen intelijen Kerajaan Mataram.

Ia dititahkan langsung oleh Sultan Agung untuk menghabisi nyawa Coen dalam penyerangan kedua Mataram ke Batavia.

“Tugas itu berhasil dia jalani. Leher Coen berhasil dipenggalnya dengan golok Aceh,” ujarnya, melansir historia.id.

Keterangan Sukandi dibenarkan Ki Herman Janutama. Sembari mengutip Babad Jawa, sejarawan asal Yogyakarta itu menyebut bahwa pemenggalan kepala Coen merupakan misi rahasia yang sudah lama direncanakan dengan melibatkan grup intelijen Mataram,

“Orang sekarang mungkin akan kaget kalau dikatakan militer Mataram memilik kesatuan telik sandi sendiri, tapi bagi kami yang akrab dengan manuskrip-manuskrip tua dan cerita-cerita lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, hal ini tidak aneh,” ujarnya.

Dengan mengerahkan orang-orang Tumenggung Kertiwongso dari Tegal sejak tahun 1927, komandan kelompok intel Mataram Raden Bagus Wonoboyo membangun basis di wilayah bantaran Kali Sunter di daerah Tapos.

Untuk melengkapi kerja-kerja rahasia tersebut, Wonoboyo mengirimkan putrinya yang memiliki kemampuan telik sandi mumpuni, Nyimas Utari, untuk bergabung dengan agen telik sandi asal Samudera Pasai, Mahmuddin.

“Dia memiliki nama sandi: Wong Agung Aceh. Dia kemudian menikahi Nyimas Utari,” kata Ki Herman.

Dari Aceh, kedua agen intelijen itu memasuki benteng VOC di Batavia dengan kamuflase sebagai pebisnis. Mereka memiliki kapal dagang yang disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar. Mereka lantas dipercaya Coen sebagai mitra bisnis VOC. Begitu dekatnya, hingga mereka memiliki akses ke kastil dan bergaul dengan Eva Ment, isteri Coen, dan anak-anaknya.

Pada 1629, balatentara Mataram menyerbu Batavia. Di tengah kekacauan dan kepanikan, Nyimas Utari membunuh Eva dan anak-anaknya dengan racun lewat minuman. Mahmuddin berhasil menyelinap ke ruangan Coen dan membunuhnya.

“Guna bukti kesuksesan misi mereka ke Sultan Agung, Nyimas Utari dengan menggunakan golok kepunyaan Mahmuddin memenggal kepala Coen,” ujar Ki Herman.

Sambil membawa kepala Coen, Mahmuddin dan Nyimas Utari diloloskan pasukan penyelundup Mataram dari dalam benteng VOC. Namun, saat pelarian tersebut mereka dihujani tembakan meriam yang menewaskan Nyimas Utari. Mahmuddin membopong jasad istrinya hingga wilayah Desa Keramat, tempat dia dimakamkan.

Kepala Coen diambil oleh Wonoboyo. Secara estafet, kepala itu dibawa lewat jalur Pantai Utara oleh tentara Mataram di bawah komandan Tumenggung Surotani. Sultan Agung memerintahkan untuk menanam kepala itu di baris ke-716 tangga menuju makam raja-raja Jawa di Imogiri.

“Hingga kini, para peziarah yang paham cerita ini akan melangsungkan ritual pengutukan terhadap jiwa Coen dengan cara menginjak-injak tangga ke-716 seraya mengeluarkan sumpah serapah dari mulut mereka,” ujar Ki Herman.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pembangunan Infrastruktur Sekolah Rakyat jadi Tonggak Pemerataan Pendidikan

Oleh: Didin Waluyo)* Komitmen pemerintahan Prabowo Subianto dalam mewujudkan akses pendidikanyang lebih merata terlihat semakin nyata. Pemerintah akhirnya menetapkanDesember 2025 sebagai titik awal pembangunan Infrastruktur Sekolah Rakyat.  Langkah ini dipandang sebagai dorongan baru untuk menegaskan bahwapendidikan tidak boleh menjadi hak istimewa bagi segelintir kelompok saja.Pembangunan ini juga menjadi sinyal kuat bahwa negara mulai menempatkankualitas dan aksesibilitas pendidikan sebagai prioritas utama.  Pembangunan infrastruktur ini masuk dalam pembangunan tahap II yang dilakukandi 104 lokasi di seluruh Indonesia. Dengan memulai proyek pada akhir 2025, pemerintah ingin memastikan bahwa percepatan pembangunan dapat segeradirasakan oleh masyarakat luas. Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengatakan, Pembangunan Sekolah Rakyat Adalah bentuk nyata komitmen pemerintah untuk membangunsumber daya manusia yang unggul. Ia menjelaskan bahwa Pembangunan tahap II dilakukan guna memperluas akses Pendidikan berkualitas bagi anak-anak darikeluarga kurang mampu.  Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian PU, total anggaran yang dialokasikan untuk percepatan pembangunan Sekolah Rakyat ini sebsar Rp20 triliun, yang mana biaya pembangunan diperkirakan Rp200 miliar per sekolah. Sementara itu 104 lokasi yang tersebar antara lain, 27 lokasi di Sumatera, 40 lokasidi Jawa, 12 lokasi di Kalimantan,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini