MINEWS, JAKARTA – Demam film ‘Dilan 1991’ tengah melanda muda-mudi atau bahkan generasi ‘tua’ di Indonesia sekalipun yang merindukan kisah percintaan anak SMA. Film romantis nan puitis ini adalah lanjutan dari sekuel pertamanya ‘Dilan 1990’ yang berhasil menduduki peringkat pertama box office film Indonesia.
Namun tahukah kamu, sebenarnya ada kisah asmara yang mirip ‘Dilan’ di masa kemerdekaan 1945. Kisah yang dimaksud adalah perjalanan cinta Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Siti Alfiah.
Keduanya bertemu saat di tepian selatan, Cilacap, Jawa Tengah. Bertemu dalam satu sekolah menengah pertama Parama Wiwirotomo (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), Soedirman mengagumi kepandaian Siti.
Tidak mudah bagi Soedirman untuk mendapatkan Siti. Sebab banyak pemuda yang juga jatuh hati kepadanya.
Namun bukan Soedirman namanya jika patah semangat. Meski banyak pesaing, pria kelahiran 24 Januari 1916 tersebit tidak habis akal.
Berbekal sebagai aktivis Muhammadiyah, ia pun menggunakan ‘modus’ memilih wanita idamannya itu sebagai bendahara saat menjadi panitia teater. Saat itu Soedirman menjadi ketua panitia.
Singkat cerita, sebagai pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah, Soedirman kerap silaturahmi ke rumah orang tua Alfiah, Sastroatmodjo yang notabene merupakan pengurus Muhammadiyah.
Lelaki lain pun akhirnya menyadari jika calon panglima besar sedang jatuh hati kepada Siti, mereka akhirnya tak lagi mendekati kembang desa tersebut. Apalagi Soedirman sangat disegani di lingkungannya.
Sayangnya, kisah cinta Soedirman pun tidak berjalan mulus. Paman Alfiah yang bernama Haji Mukmin menentang keras hubungan dua sejoli tersebut.
Mukmin berkinginan agar Alfiah itu mendapatkan pendamping hidupnya dari kalangan kelas atas (orang kaya). Berbeda dengan Soedirman, yang hanya anak ajudan wedana yang bergaji kecil.
Bukan Soedirman namanya jika harus mundur dari ‘perjuangan’ cintanya saat dilarang Mukmin. Ia memilih terus berjuang untuk mendapatkan pujaan hatinya.
Dan akhirnya Soedirman pun menikahi Alfiah dengan biaya dari sang ibunda, Siyem.
Namun perlakuan Haji Mukmin berubah setelah Soedirman dilantik menjadi Panglima Besar oleh Presiden Sukarno 28 Juni 1947 di Yogyakarta (Gedung Agung).
Waktu pun berlalu, kisah percintaan keduanya kembali diuji saat Soedirman terbaring di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Kala itu, Alfiah diminta sang jenderal untuk merokok dan meniupkan asap rokok ke wajahnya. Sejak peristiwa itu, Alfiah menjadi seorang perokok.
Penyakit yang diderita Soedirman sudah lama. Meski begitu, dengan separuh paru-parunya ia terus bergerilya. Singkat cerita, Soedirman terbaring ditempat tidur akibat tak mengindahkan saran Alfiah, agar mandi dengan air hangat pada malam itu. Meski demikian, kebiasaan merokoknya pun tidak ditinggalkan.
Dari hasil diagnosa tim dokter, penyakit yang diderita ialah tuberkolosis, infeksi paru-paru. Namun Soedirman masih belum percaya, dan langsung meminta lagi dua dokter senior, Asikin Wijayakusuma dan Sim Ki Ay memeriksanya kembali. Hasilnya tak jauh berbeda. Atas saran Asikin, Soedirman dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Menurut Soegiri, bekas ajudan Soedirman dalam catatannya menceritakan jika komandannya itu dirawat di Kamar 8 Bangsal Maria, Rumah Sakit Katolik. Diketahinya penyakit tersebut dari dokter yang merawatnya.
Sayangnya obat yang dibutuhkan hanya ada di Jakarta. Kalaupun sampai di Yogyakarta, obat itu harus melalui jalur penyelundupan. Sebab, kata Soegiri, saat itu Jakarta dikuasai tentara sekutu.
Karena Panglima Besar membutuhkan penanganan yang cepat, tim dokter memutuskan harus menjalani operasi untuk menyelamatkannya. Penyakit tersebut, lanjut Soegiri, sudah sangat komplikasi sehingga membuat dokter menempuh cara dengan mengangkat satu paru-parunya.
Pasca operasi, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat saluran pernafasan.
Soedirman pun pulang ke rumahnya di Bintaran, usai sebulan menjalani perawatan di rumah sakit. Pernah beberapa kali terlihat merokok Saat di rumah, sehingga hal itulah yang memperburuk kesehatannya kembali. Bahkan pernah muntah darah.
Pada 17 Desember 1948, Soedirman tiba-tiba bisa bangkit dari tempat tidur. kepada Alfiah, Soedirman berkata ada firasat bahwa Belanda akan melakukan agresi. Dua hari berselang, firasat sang Jenderal terbukti dan Belanda menyerang Yogyakarta.
Awalnya Soedirman mengajukan cuti sebagai Panglima kepada Soekarno namun tidak disetujui. Karena Belanda kembali menyerang, ia tak jadi mengambil cuti.
Selama delapan bulan Soedirman keluar masuk hutan bergerilya diluar Yogyakarta. Sesampai di Pacitan, Jawa Timur, ia sakit. Para prajuritnya kemudian mendatangkan dokter dari Solo
Seorang suster yang merawat Jenderal itu, Rika, dalam tulisannya menceritakan, saat dirawat Soedirman menggunakan nama samaran Abdullah Lelana Putra. Pengakuan Rika pada 1985 itu dimuat surat kabar yang naskahnya kini tersimpan di Museum Sasmitaloka.
Alasan menyamarkan nama tersebut supaya keberadaan Soedriman tidak diketahui Belanda. Beberapa minggu kemudian dia kembali ke rumah. Pada 18 Januari 1950, Soedirman memanggil seluruh petinggi tentara. Dan memanggil isteri dan ketujuh anaknya, keesok harinya.
Seolah itu sudah menjadi pertanda. Senin, 29 Januari 1950, tubuh Jenderal Soedirman sudah semakin lemah. Berlinang air mata, Siti Alfiah meminta suaminya tegar.
Panglima Besar kemudian menatap istrinya dan meminta menuntunnya membaca kalimat tauhid. Satu kalimat terucap, Soedirman kemudian mangkat sekitar pukul 18.30 waktu setempat.