Mao Zedong, Pendiri RRC yang Menjalin Persahabatan dengan AS

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Mao Zedong adalah seorang pemimpin komunis Cina dan pendiri Republik Rakyat Cina. Ia bertanggung jawab atas kebijakan dari ‘Lompatan Jauh ke Depan’ dan ‘Revolusi Budaya’.

Mao lahir pada 26 Desember 1893 dalam keluarga petani di Shaoshan, Provinsi Hunan, Cina tengah. Setelah mendapat pendidikan sebagai guru, ia melakukan perjalanan ke Beijing di mana ia bekerja di Perpustakaan Universitas. Selama waktu inilah ia mulai membaca literatur Marxis.

Pada 1921, Mao menjadi anggota pendiri Partai Komunis Cina (PKT) dan mendirikan cabang di Hunan. Kemudian tahun 1923, Partai Nasionalis Kuomintang (KMT) bersekutu dengan PKT untuk mengalahkan para panglima perang yang menguasai sebagian besar Cina utara. Tahun 1927, pemimpin KMT, Chiang Kai-shek, meluncurkan pembersihan anti-komunis.

Mao dan komunis lainnya mundur ke tenggara Cina. Pada 1934, setelah KMT mengepung mereka, Mao memimpin para pengikutnya dalam ‘Long March’, perjalanan sejauh 6.000 mil (10.000 km) ke barat laut Cina untuk mendirikan pangkalan baru.

Selama perang dengan Jepang terjadi tahun 1937-1945, Komunis dan KMT kembali bersekutu, tetapi tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II, perang saudara pecah di antara mereka.

Perang tersebut kemudian dimenangkan oleh pihak Komunis. Pada 1 Oktober 1949, Mao memproklamirkan berdirinya Republik Rakyat Cina (RRC). Sementara itu, Chiang Kai-shek pun melarikan diri ke pulau Taiwan.

Mao dan para pemimpin Komunis lainnya berangkat untuk membentuk kembali masyarakat Cina. Industri berada di bawah kepemilikan negara dan petani Cina mulai diorganisir menjadi kolektif. Semua oposisi dengan kejam ditekan.

Tahun 1958, dalam upaya memperkenalkan bentuk komunisme yang lebih ‘Cina’, Mao meluncurkan kebijakan ‘Lompatan Jauh ke Depan’. Hal ini bertujuan untuk mobilisasi massa tenaga kerja untuk meningkatkan produksi pertanian dan industri.

Namun hasilnya justru sebaliknya, penurunan besar-besaran terjadi dalam hasil pertanian bersaman dengan gagal panen, menyebabkan kelaparan dan kematian jutaan orang. Kebijakan itu lalu ditinggalkan dan posisi Mao menjadi melemah.

Dalam upaya untuk menegaskan kembali otoritasnya, Mao meluncurkan kebijakan ‘Revolusi Kebudayaan’ tahun 1966, yang bertujuan untuk membersihkan negara dari unsur-unsur ‘tidak murni’ dan menghidupkan kembali semangat revolusioner.

Dalam peristiwa ini, 1,5 juta orang meninggal dan sebagian besar warisan budaya negara itu hancur. Pada bulan September 1967, dengan banyak kota di ambang anarki, Mao mengirim tentara untuk memulihkan ketertiban.

Mao tampak menang, tetapi kesehatannya memburuk. Pada tahun-tahun terakhirnya, Mao berupaya untuk membangun persahabatan dengan Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Eropa. Tahun 1972, Presiden AS kala itu, Richard Nixon, mengunjungi Cina dan bertemu dengan Mao.

Mao kemudian meninggal pada 9 September 1976.

Reporter: Sheila Permatasari

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini