MATA INDONESIA, JAKARTA – Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda memiliki efek domino terutama di kalangan perempuan.
Adalah tiga aktivis yang berjuang menggalang perempuan agar memiliki posisi tawar yang sama dengan lelaki dalam berbagai hal.
Sebab, pada 1928 hak-hak perempuan terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan belum bisa diraih.
Itulah yang membuat Ny. Soekonto (dari Wanita Oetomo), Nyi Hajar Dewantara (Wanita Taman Siswa), dan Sujatin Kartowijono (Poetri Indonesia) bersikukuh menyelenggarakan kongres khusus untuk menyuarakan hak perempuan.
Melalui otobiografinya yang ditulis Hanna Rambe, Sujatin mengungkapkan alasan kuat untuk memperjuangkan hak perempuan melalui sebuah kongres.
“Perjuangan kemerdekaaan dan perbaikan hak serta nasib wanita memnjadi titik utama dalam hidupku sebagai orang muda… Di bulan Oktober 1928, tepatnya tanggal 28, diadakan Sumpah Pemuda… Pada saat itu pulalah timbul sebuah hasrat di antara kami kaum wanita muda, mengadakan sebuah pertemuan antarwanita se Indonesia demi persatuan nasional,” ujar Sujatin.
Kuatnya dorongan mengadakan kongres itu karena kehidupan perempuan pada 1920 -an selalu dirundung masalah yang cukup pelik seperti sangat sedikit perempuan yang bisa memperoleh pendidikan layak.
Di era itu, seorang anak perempuan langsung dikawinkan setelah mengalami menstruasi pertama.
Mereka juga tidak punya kedudukan kuat untuk menggugat perlakuan sepihak dari kaum pria dalam soal kawin dan cerai. Prinsipnya, tak ada aturan yang berpihak kepada kaum perempuan.
Kongres 22 Desember 1928 itu pun menghasilkan sejumlah resolusi yang memperkuat kedudukan perempuan hingga terbentuklah Perikatan Perkumpulan Perempoean Indonesia.
Namun gerakan perempuan Indonesia itu pernah hampir pecah karena perbedaan pandangan mengenai permaduan. Konflik tersebut terjadi pada Kongres Perempuan Indonesia kedua yang diadakan 20-24 Juli 1935 di Batavia, sekarang Jakarta.
Konflik terjadi ketika Ratna Sari dari Persatuan Muslim Indonesia (Permi) Sumatra Barat menyampaikan pidato bernada mendukung poligami dengan alasan sesuai syariat Islam.
Mendengar pendapat Ratna Sari, Suwarni Pringgodigdo dari Perkumpulan Istri Sedar menentangnya.
Suwarni bahkan sampai memboikot jalannya sidang sambil menyatakan keluar sidang bersama organisasi yang dipimpinnya.
Beruntung, peserta sidang Maria Ulfa, dapat mencegah dengan mengajukan usul agar pembahasan Ratna Sari tidak diteruskan di dalam kongres.
Setelah itu dinamika gerakan perempuan makin menguat seiring semakin bersatunya orientasi mereka terhadap persoalan-persoalan perempuan.
Kongres tersebut membuat perempuan tak lagi berdiam diri di dapur ataupun pasrah dengan nasib yang ditentukan lelaki.
Bahkan ada sejumlah advokasi terhadap perempuan korban pertikaian rumah yangga yang dilakukan oleh organisasi-organisasi perempuan anggota kongres tersebut.
Hari penyelenggaraan Kongres Perempuan pertama itu kemudian ditetapkan oleh Dekrit Presiden Soekarno No. 316 tahun 1959 sebagai hari perayaan nasional yaitu Hari Ibu. (Indah Suci Raudlah)