MATA INDONESIA, VILNA – Gundukan tanah yang di atasnya tertancap ribuan salib menyimpan kisah misteri tentang perang dan pemberontakan.
Tiupan angin yang melintas di daerah yang berada sekitar 11 km di luar kota Siauliai di Lithuania Utara ini, terdengar berdentingan dari rasio yang beradu dengan salib logam dan salib kayu.
Suara loncengnya memenuhi udara dan membuat suasana mencekam, belum lagi tentang legenda kuno di mana penampakan misterius serta kemunculan sosok hantu yang mewarnai bukit tersebut semakin membuat kesan horor akan tempat ini.
“Bukit ini memiliki banyak rahasia. Menurut cerita rakyat, dulu di bukit ini pernah ada gereja. Saat terjadi badai yang mengerikan, kilat menerpa gereja dan badai menguburnya di bawah pasir dan batu bersama dengan semua orang yang masih berada di dalam gereja,” tutur Vilius Puronas, seorang seniman dan sejarawan setempat.
“Warga setempat mengatakan bahwa Anda bisa melihat sekilas prosesi hantu-hantu biarawan di kaki bukit saat matahari terbit. Selama ini, berbagai kemunculan ajaib, penampakan orang-orang kudus dan hantu telah menjadi bagian dari sejarah bukit ini,” jelas Puronas
Ada legenda lain yang mengatakan bahwa sebelumnya, tepatnya pada awal 1300-an, bukit tersebut berfungsi sebagai tempat untuk seubah kastil kayu yang diawaki olah raja-raja Samogitia, yang dulunya adalah negara bagian di bekas Grand Duchy of Lithuania.
Benteng itu kemudian hancur tahun 1348. Benteng itu dihancurkan oleh ksatria-biarawan dari Jerman atau Order of the Brothers of Sword yang bertugas di Chritianisation of Livonia (sekarang Latvia dan Estonia).
Banyak yang percaya bahwa gundukan itu terbentuk dari tumpukan mayat-mayat yang terbunuh dan dikubur secara massal oleh orang Samogitia yang selamat dari pertempuran tersebut. Tak hanya biarawan, jiwa para pejuang pagan masih kerap menghantui bukit ketika hari gelap.
Kisah paling populer mengenai asal-usul bukit ini adalah kisah seorang ayah yang putus asa ketika anak perempuannya tiba-tiba sakit parah. Ketika sang putri berbaring di ranjang kematiannya, seorang perempuan mengunjungi sang ayah dan menyuruhnya untuk membuat tiang kayu lalu meletakkannya di atas bukit terdekat. Penyakit putrinya akan terangkat jika sang ayah melakukan hal itu.
Sang ayah pun bergegas membuat salib kayu dan pergi ke bukit pada pagi harinya. Setibanya di rumah, ia disambut oleh putrinya di ambang pintu dengan keadaan sehat. Sejak itulah, orang-orang meninggalkan salib beserta harapan akan jawaban dari doa mereka.
Namun, tak semua salib yang ditinggalkan oleh peziarah yang optimis, beberapa di antaranya sengaja ditinggalkan untuk menjadi pengingat akan pemberontakan yang senyap.
Bukit salib telah menghadapi ancaman paling agresif dari Uni Soviet setelah selamat dari pengepungan tentara salib yang menyerang di abad pertengahan dan juga pemberontakan oleh orang-orang Lithuania melawan Tsar Alexander II dari Rusia pada abad ke-19.
Pemerintah Soviet berulang kali berusaha membasmi kekeristenan di blok Timur, mereka membludozer, membakar salib kayu, dan memindahkan logam dan batu untuk diolah menjadi besi bekas dan kontruksi. Orang yang membawa salib ke bukit akan didenda dan dipenjara.
ajaibnya, salib-salib ini tidak kunjung berkurang, malah justru bertambah sebab diletakkan pada malam mari sebagai tindakan untuk menantang dan melawan para penindas agama. Salib-salib ini masih kokoh berdiri setelah jatuhnya Uni Soviet bahkan sampai saat ini.
Di tahun-tahun berikutnya, situs ini menjadi tempat berkumpulnya peziarah dari semua agama. Salib kristen berdiri berdampingan dengan ukiran yang berisi prasasti dan kata-kata Yahudi dari Al- Quran.
“Bukit Salib tidak dimiliki satu orang secara khusus, dan karenanya menjadi milik semua orang,” kata Puronas.
“Baik gereja maupun pemerintah tidak mengklaim hal itu, dan orang-orang membawa salib ke sini bukan karena mereka diberi tahu, tapi karena mereka merasa terinspirasi.”
Salib-salib di bukit salib kini telah mencapai lebih dari 100.000 jumlahnya, berikut ikon dari religius lainnya dan jumlah ini akan terus meningkat. Bukit ini dikelola oleh pemerintah kota Siauliai dan biarawan Fransiskan setempat.
“Bagi sebagian orang, Bukit Salib adalah tempat perenungan dan doa. Bagi orang lain, ini melambangkan perlawanan di masa yang lebih gelap. Ini adalah kejadian luar biasa dalam kehidupan biasa. Tak satu pun dari mereka salah,” kata Puronas.
Reporter: Sheila Permatasari