MATA INDONESIA, JAKARTA – Di masa pergantian pemerintahan dari Soeharto ke Habibie ditandai dengan lepasnya Timor Timur (TimTim) dari tangan Indonesia. Hari ini, 19 Oktober 2020, menjadi moment peringatan berpisahnya provinsi ke-27 itu dari pangkuan ibu pertiwi.
Namun, bila ditelusuri rekam sejarahnya, wilayah yang kini telah berubah menjadi Timor Leste harus melewati banyak perjuangan berliku dan berdarah untuk menjadi negara merdeka.
Awalnya wilayah ini adalah bagian dari Kesultanan Ternate, terutama di masa pemerintahan Sultan Kaicil Mashur Malamo (1257-1277).
Kemudian, pasca Portugal kalah perang di Kepulauan Maluku tahun 1522, Portugal mulai menduduki wilayah TimTim. Saat itu daerah ini merupakan “wilayah tak bertuan” (wilde occupantie). Pada saat yang sama, Kesultanan Ternate mulai mengabaikan TimTim serta wilayah-wilayah kekuasaannya yang lain, ditambah invasi pasukan Belanda ke Kesultanan Ternate pada tahun 1609.
Lalu di abad ke-17, wilayah ini sempat menjadi perebutan antara Portugis dan Belanda. Untuk menghindari pertumpahan darah, keduanya lalu memutuskan untuk membagi pulau Timor menjadi dua lewat Perjanjian Lisboa pada tahun 1859. Portugis pun mengendalikan Pulau Timor bagian timur dan Belanda menguasai wilayah Timor bagian barat dan seluruh Indonesia.
Di bawah pemerintahan Portugis, nasib Timor Leste malah sensara. Penduduk setempat tidak pernah mendapatkan investasi atau pengembangan dalam bentuk apa pun, kecuali yang dapat memberikan keuntungan balik, yaitu di bidang ekspor kayu cendana dan kopi.
Usai perang dunia ke-II, pihak pribumi mulai memberontak kepada Portugis. Hal ini bertepatan dengan Revolusi Bunga (atau disebut juga Revolusi Anyelir) di Portugal pada tahun 1974. Kebijakan ini mendorong Portugal mengeluarkan kebijakan dekolonisasi dan mulai meninggalkan wilayah jajahannya termasuk Timor Timur.
Revolusi ini direspon oleh masyarakat pribumi dengan dengan pendirian sejumlah partai politik untuk pertama kalinya pada 1975. Perpecahan pun terjadi di kalangan penduduk yang menghuni kawasan seluas 30.777 kilometer persegi itu.
Mereka terpolarisasi pada tiga faksi, yaitu Partai Uniao Democratica Timorense (UDT), Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente (Fretilin), dan Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti).
Ketiga faksi ini memiliki agenda berbeda. UDT menyatakan bahwa TimTim harus tetap menjadi bagian dari koloni Portugal. Fretilin mendesak TimTim harus menjadi negara merdeka. Sedangkan Apodeti, menyarankan bergabung dengan Indonesia sebagai solusi terbaik.
Indonesia pun melihat peluang untuk mengajak TimTim bergabung demi menjaga agar wilayah Asia Tenggara tak disusupi paham komunis. Namun demikian, TimTim menolak kemerdekaan yang mereka dapatkan dari Portugis dirampas begitu saja. Tak ada jalan lain bagi Indonesia, selain merebut wilayah ini dengan operasi militer.
Pada 7 Desember 1975, dengan memakai nama Operasi Seroja, invasi dimulai melalui sebuah operasi militer terbesar yang pernah dilakukan Indonesia sampai saat ini.
Pasukan Indonesia mengambil kendali atas menara radio, memutuskan komunikasi dengan dunia luar dan menggulingkan pemerintah Fretilin serta mampu mengambil kendali atas Dili, ibu kota TimTim. Mereka kemudian mengambil alih Baucau, kota terbesar kedua pada hari berikutnya.
Namun Fretilin dengan militernya bernama Falintil tak menyerah dan terus melakukan kontak senjata. Bahkan mereka sempat medeklarasikan nama Republik Demokratik Timor Leste pada 28 Desember 1975.
Namun demikian, posisi militer Indonesia yang sangat kuat, baik dari sisi amunisi dan jumlah tentara, membuat Fretilin tak berkutik. Mereka terus terpojok hingga mundur ke daerah pegunungan dan menerapkan taktik gerilya.
Operasi Seroja ditutup dengan keberhasilan Indonesia menguasi TimTim pada 17 Juli 1976 dan diperkenalkan sebagai provinsi ke-27. Namun demikian, usai menjadi bagian dari NKRI, perlawanan untuk membebaskan diri dari Indonesia masih berkecamuk. Namun, Indonesia menilai riak tersebut hanya sebagai kelompok separatis.
Meski sejak awal langkah Indonesia sudah diprotes PBB, baru pada tahun 1991 dunia mulai menyadari apa yang sedang terjadi di Timor Leste. Khususnya setelah terjadi kerusuhan di pemakaman Santa Cruz pada pagi 12 November 1991.
Pihak Indonesia mengklaim peristiwa itu menewaskan 50 warga sipil TimTim. Tetapi laporan lain menyebutkan ratusan orang luka-luka dan tewas kena peluru tentara Indonesia. Sejak itu tekanan terhadap Indonesia atas penguasaan terhadap Timor Timur makin kencang di panggung politik dunia.
Cengkeraman kekuasaan Indonesia melalui operasi militernya di TimTim akhirnya runtuh, seiring tumbangnya Presiden Soeharto di tahun 1998. Memasuki era Bacharuddin Jusuf Habibie, TimTim akhirnya mendapat kesempatan untuk merdeka.
Menurut Habibie, reformasi tidak boleh terbebani masalah gejolak di TimTim. Sebab oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada sidang umumnya 19 November 1976, menyatakan menolak aneksasi Indonesia terhadap TimTim.
Referendum pun lahir di tangan Habibie, dengan dua opsi. Pertama memperluas otomoni terhadap TimTim, kedua, menolak hal tersebut.
Hasil dari kedua opsi tersebut difasilitasi PBB sebagai tindak lanjut dari United Nations Mission in East Timor (Unamet) yang dibentuk pada 11 Juni 1999. Bersama Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan.
Pada 30 Agustus 1999, jajak pendapat dilakukan. Hasilnya 78,50 persen menolak opsi pertama, artinya mayoritas rakyat TimTim inginkan merdeka. Di dalam negeri, ketidakpuasan atas unggulnya opsi kedua membuat kekecewaan terhadap Habibie.
Namun, langkah mundur tak ada lagi. Legitimasi turun dari MPR dengan TAP MPR No. V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di TimTim. Selasa 19 Oktober 1999, lewat ketetapan tersebut TimTim dinyatakan berpisah dengan NKRI.
Selanjutnya pada Sabtu 30 Oktober 1999, bendera Merah Putih pun diturunkan di bumi Timor Lorosae. Wilayah ini pun berganti nama menjadi Republik Demokratik Timor Leste.