Home Kisah Kilas Balik Kemunculan Radio di Tanah Air, Hiburan Sekaligus Propaganda Politik

Kilas Balik Kemunculan Radio di Tanah Air, Hiburan Sekaligus Propaganda Politik

0
437
Kilas Balik Kemunculan Radio di Tanah Air, Hiburan Sekaligus Propaganda Politik
Ilustrasi radio sebagai propaganda politik. (istimewa)

MATA INDONESIA, JAKARTA – Radio dibawa masuk ke Indonesia oleh Bangsa Belanda sekitar tahun 1920-an. Eksistensi dan fungsi radio tak hanya untuk hiburan semata. Radio juga dipakai sebagai alat propaganda dan kontrol politik lewat Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM). Demikian penjelasan Masduki dalam buku Jurnalistik Radio: Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar.

Berturut-turut lahirlah Solosche Radio Vereniging (SRV) di kota Solo pada tahun 1933 dan Vereniging Oostersche Radio Omroep (VORO) di Jakarta pada tahun 1934.

Kemudian diikuti Vereniging Oostersche Radio Luistraas (VORL) di Bandung, Chinesse en Intreemse Radio Luisteraars Vereniging Oost Jawa (CIRVO) di Surabaya. Selanjutnya Eerste Madioense Radio Omroep (EMRO) di Madiun dan Mataramse Vereneging Voor Radio Omroep (MAVRO) di Yogyakarta.

Dan pada tahun itu pula di Solo muncul lagi sebuah perkumpulan siaran dengan nama Siaran Radio Indonesia (SRI). Sedangkan pada tahun 1936 di Semarang berdiri Radio Semarang.

Jika awal kelahirannya,siaran-siaran radio bangsa Indonesia itu masih menggunakan istilah “ketimuran” untuk “Indonesia”,maka SRI di Solo sudah terang-terangan mencantumkan perkataan “Indonesia” pada namanya. Bagaimana pergerakan kebangsaan tak dapat di bendung.Perlahal-lahan masuklah unsur politik dalam siaran-siaran radio ketimuran.

Pada tanggal 28 Maret 1937,wakil-wakil dari VORO(Jakarta) VORL(Bandung) MAVRO(Jogjakarta),SRV (Surakarta) dan CIVRO (Surabaya) di bawah pimpinan Soetarjo Karto Hadi Koesumo,mengambil keputusan untuk mendirikan “Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK).

Maju ke era pendudukan Jepang, peran radio dikontrol penuh oleh Dai Nippon. Kabar tentang serangan Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour bahkan terdengar di Indonesia via radio.

Selepas masa Belanda, Jepang melakukan cara-cara yang hampir serupa terhadap radio. Rosihan Anwar dalam buku Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya mengatakan bahwa satu di antara hal pertama yang dilakukan Jepang adalah menyegel stasiun radio. Jepang memusatkan komando radio-radio di Indonesia di bawah pengawasan Nippon Hoso Kyokai (NHK).

Siaran-siaran yang mengudara diawasi secara ketat, sementara siaran dari luar negeri diputus oleh pemerintahan Dai Nippon. Salah satu siaran yang direstui Jepang untuk didengarkan masyarakat Indonesia ialah sandiwara radio. Meski begitu, pemerintahan Jepang telah melakukan sensor dan memasukkan unsur-unsur propaganda dalam siaran sandiwara radio tersebut.

Meskipun terlihat serius melakukan propaganda melalui radio, baik Belanda maupun Jepang tampaknya gagal untuk sepenuhnya menancapkan pengaruh di kepala orang Indonesia. Pasalnya, kepemilikan radio, apalagi oleh penduduk Indonesia, masih terbilang sangat terbatas.

Namun, setidaknya ada satu sosok yang lolos kontrol sensor Jepang saat mendengarkan siaran radio. Sosok itu Sutan Sjahrir. Merujuk buku berjudul Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisihkan dan Terlupakan karya Rosihan Anwar, Sjahrir memiliki satu unit radio berwarna gelap dan tidak tersegel.

Artinya, satu unit radio itu ilegal. Dan hal ini tidak disenangi oleh Jepang karena radio macam ini dimungkinkan untuk menangkap siaran radio yang belum disensor oleh Jepang. Radio itu disembunyikan Sjahrir di kamar tidurnya. Menggunakan radio berwarna gelap tak tersegel itulah, Rosihan mengungkapkan, Sjahrir dapat menangkap siaran-siaran berita luar negeri yang tidak disiarkan Jepang.

Termasuk siaran dari radio Brisbane yang dipancarkan Pemerintah Hindia Belanda dalam pembuangan di Australia. Dari siaran itu, Sjahrir bahkan mendengarkan informasi tentang teman-teman di pembuangannya. Jelang Proklamasi RI Sjahrir pula di antara orang pergerakan paling awal yang berhasil mengetahui rentetan kekalahan Jepang dari Sekutu di pelbagai front pertempuran di Pasifik.

Pada 10 Agustus 1945, Sjahrir telah mengetahui bahwa Jepang akan menyerah pada Sekutu selepas bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki dari siaran radio yang ia dengarkan. Atas informasi yang ia miliki itu, Sjahrir menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk mengantarkan informasi tentang kekalahan Jepang kepada Hatta.

Hatta saat itu baru saja mendarat dari Dalat, Vietnam. Bersama Sukarno, ia diberikan janji bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan Indonesia. Melalui informasi itulah, Sjahrir hendak memberi peringatan: Lupakan janji Jepang karena Jepang sendiri sudah keok dan segeralah nyatakan kemerdekaan tanpa embel-embel Jepang.

Rosihan Anwar mengungkapkan kegiatan Sjahrir itu semacam “bernapas di bawah tanah” alias underground. Sukarno mengaku kepada penulis biografinya, Cindy Adams, mengenai kegiatan Sjahrir tersebut, kendati dengan intensi meremehkan: “Apa, sih, underground Sjahrir itu? Hanya mendengarkan siaran radio luar negeri secara diam-diam,” ungkap Sukarno.

Namun yang dianggap ‘hanya’ oleh Sukarno itu, pada dasarnya, bagian tak terpisahkan dari sejarah kelahiran proklamasi Indonesia. Karena informasi soal kekalahan Jepang itu, para pemuda mendesak Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan selekas-lekasnya. Namun, Sukarno-Hatta menolak desakan itu. Para pemuda kemudian “menculik” Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok hingga akhirnya ada persetujuan untuk memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here