MATA INDONESIA, JAKARTA – Nama Abdul Malik Karim Amrullah atau yang mashyur dengan Buya Hamka adalah salah satu tokoh muslim terkemuka tanah air.
Selain itu, ia juga dikenang sebagai salah satu penulis berbakat nan produktif dalam dunia sastra modern Indonesia. Sekitar 118 tulisan mencakup bidang agama, filsafat, dan sastra lahir lewat tangan sosok kelahiran Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 silam.
Diantara deretan karyanya, novel ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck‘ yang dibuat pada tahun 1938 menjadi salah satu novel yang fenomenal. Bukan hanya menyemutnya para peminat kisah cinta tak sampai antara Zainuddin dan Hayati tersebut, ternyata novel tersebut ikut dikritik oleh sejumlah pembaca muslim.
Sungguh persoalan yang pelik saat itu. Posisi Hamka sebagai ulama sekaligus pengarang roman digoyang. Para penikmat karya-karyanya itu menolak mentah-mentah kehadiran Van Der Wijck. Menurut mereka, seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Hamka pun dijuluki ‘kiai cabul’.
Tak mau menjadi bias, ia kemudian berapologi lewat tulisannya di Pedoman Masyarakat No. 4 bertarikh 1938. Hamka mengatakan, banyak roman yang menyimpan pesan positif terhadap pembacanya. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.
Salah satu keluhuran pemikiran Hamka soal poligami ini dikisahkan kembali oleh sang anak, Irfan Hamka lewat buku ‘Ayah, Kisah Buya Hamka‘.
Di suatu kesempatan, Hamka didatangi perempuan yang curhat dan meminta solusi ingin cerai gara-gara suaminya poligami. Namun, ia malah mendapat jawaban mengejutkan dari Buya.
“Buya dilarang agama untuk menganjurkan ananda mengajukan cerai ke suami. Dan Buya tidak berhak menganjurkan ananda untuk bersabar. Keputusan ada di tangan ananda. Semua tergantung tinggi rendahnya iman seseorang pada Allah,” demikian perkataannya yang dinukil dari Buku Ayah, Kisah Buya Hamka, Irfan Hamka, 2013.
Pun selama hayatnya Hamka tak pernah melakukan poligami sekaligus tak pernah menggugat, menghujat atau bahkan menolaknya. Ia adalah sosok ayah yang luar biasa dan cinta sejatinya, Sitti Raham.
Itulah Hamka, sosok yang tak pernah tamat SD karena kenakalannya. Ia cuma mendapat pelajaran agama dan mengaji, hasil didikan sang ayah.
Uniknya, ia malah mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia. Sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar.
Buya Hamka wafat pada 24 Juli 1981 setelah sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Ia dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir. Pada 2011, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional padanya. Namanya juga diabadikan menjadi nama perguruan tinggi Islam milik Muhammadiyah.