Home Kisah Jejak Sudono Salim dari Sarimi Menuju Indomie yang Mendunia

Jejak Sudono Salim dari Sarimi Menuju Indomie yang Mendunia

0
976
Jejak Sudono Salim dari Sarimi Menuju Indomie yang Mendunia
Sarimi dan Indomie (istimewa)

MATA INDONESIA, JAKARTA – Akhir tahun 70-an, Indonesia dilanda kelangkaan beras. Pemerintah kala itu terpaksa menggelontorkan 600 juta dolar AS untuk impor beras dan tepung.

Di saat yang sama, pegawai negeri dan tentara digaji sebagian dengan jatah beras. Kondisi ini pun dilihat sebagai peluang dari oleh Sudono Salim alias Liem Sioe Liong untuk menggenjot produksi sarimi.

“Salim Group memasuki bisnis mie dengan maksud memasok mie bagi prajurit dan pegawai negeri sehingga akan ada lebih banyak beras bagi masyarakat,” tulis Richard dan Nancy dalam dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto.

Bahkan perusahaan terigu milik Grup Salim, Bogasari ikut didorong untuk mengkampanyekan terigu sebagai pengganti beras. Untuk meningkatkan minat masyarakat, kelebihan mie dan roti digembar-gemborkan secara massif di televisi dan bioskop.

Tak hanya itu, untuk menambah produksi dan pangsa pasar sarimi, Salim Group pun memesan 20 lini produksi dari Jepang, setiap lini bisa memproduksi 100 juta bungkus mie instan per tahun. Namun perhitungan mereka malah meleset perhitungan karena produksi beras membaik di tahun 1984, Indonesia swasembada beras. Presiden Soeharto lantas mendapat penghargaan dari FAO setahun kemudian.

Tak ingin produknya mubazir, Salim Group mulai merayu Indomie yang kebetulan memasok tepung dari Bogasari. “Namun, Djajadi tidak menginginkan lini itu, yang berbeda operasi dengan lini Indomie miliknya, jadilah Sarimi bertarung dengan Indomie,” tulis Richard dan Nancy.

Namun Liem tak pendek akal. Ia lantas menyediakan 10 juta dolar AS untuk memasarkan Sarimi plus memasang harga di bawah Indomie dan Supermi yang diproduksi oleh PT Lima Satu Sankyo Industri Pangan. Hasilnya, dalam setahun Sarimi menguasai 40 persen pasar.

Perlahan namun pasti, Salim Group kembali mendekati Djadjadi. “Selama Orde Baru, para saingan bisnis kadang-kadang berkesimpulan bahwa tidak ada gunanya menolak tawaran Salim,” tulis Richard dan Nancy.

Djajadi kibarkan bendera putih. Di tahun 1984, Indomie dan Sarimi resmi dikawinkan lewat perusahaan patungan: PT Indofood Interna. Di mana, Djajadi menguasai 57,5 persen saham dan Salim Group memiliki 42,5 persen sisanya.

Dalam tempo dua tahun, usaha patungan itu akhirnya kembali mengakuisi merek terkenal lain, Supermi. Perusahaan ini diambil alih setelah produksinya menurun melalui anak usahanya yang bernama PT Lambang Insan Makmur.

Nama PT Lima Satu Sankyo Industri Pangan lantas bersalin nama menjadi PT Panganjaya Intikusuma pada 1990 dan menjadi cikal bakal PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) pada 1994.

Selanjutnya pabrik Supermi di Cijantung dijadikan pabrik Sarimi. Sedangkan pabrik di Tangerang dijadikan tempat memproduksi Indomie.

Namun seiring berjalannya waktu Liem akhirnya memegang kendali penuh atas PT Indofood Interna. Djahjadi sempat menggugat indofood pada Desember 1998, pasca rezim Soeharto jatuh.

Menurut Richard dan Nancy, Djajadi mengaku dipaksa keluar dari usaha patungan dan menjual sebelas merek dagang, termasuk Indomie dan Chiki, di bawah tekanan dengan harga tidak masuk akal. Dia pun menuntut ganti rugi sebesar Rp 620 miliar. Namun sayang gugatannya gagal hingga upaya hukum terakhir di Mahkamah Agung.

Selanjutnya Salim Group terus mendominasi pasar mie instan dengan Indomie sebagai produk andalan. Indofood menjadi kian berdigdaya ketika memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia pada tahun 1994.

Pada tahun itu juga, Indofood menjadi produsen mie instan terbesar di dunia, mengalahkan Nissin Food Products yang pendirinya Momofuku Ando menemukan mie instan pada 1958.

Salim Group pun akhirnya menguasai hampir 80 persen pasar mie di Indonesia: Indomie (60,3 persen), Supermi (7,8 persen), Sarimi (6,7 persen), dan merek-merek lain seperti Pop Mie, Sakura, Pop Bihun, dan Mi Telur Cap 3 Ayam (4 persen).

Lalu pada 2009, divisi barang-barang konsumsi perusahaan dibentuk menjadi satu perusahaan baru dan pada 2010 diijinkan melantai di bursa dengan nama PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Perusahaan baru ini lantas membawahi divisi mie instan, tepung terigu Bogasari, makanan ringan, produk susu dan turunannya, serta minuman.

Perusahaan didukung oleh keberadaan 17 pabrik dengan 12 lokasi. Ke-12 kota lokasi pabrik mie instan perusahaan adalah di Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Malaysia.

Selain itu, untuk memudahkan ekspansi di luar negeri, Grup Salim menjalin kerja sama dengan investor asing. Misalnya di Nigeria dan Saudi Arabia, mereka bekerjasama mendirikan perusahaan baru bernama De United Foods Industries Ltd (Dufil dan Dufil Prima Food Plc) dan Pinehill Arabia Food Ltd (PAFL) untuk mengoperasikan pabrik Indomie.

Kini, Indomie telah punya banyak produk mie dengan beragam inovasi. Seperti Indomie Goreng Dendeng Balado, Indomie Soto Lamongan, Mie Goreng Ayam Jamur, Mie Goreng Rendang, Indomie Goreng Ayam Bawang, Indomie Goreng Soto, Mie Goreng Sambal Rica-Rica dan masih banyak lagi.

Produk-produknya juga telah tersebar ke berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Hong Kong, dan Taiwan, bahkan telah menjangkau negara kawasan Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here