MATA INDONESIA, JAKARTA – Surabaya pernah punya tiga legenda musisi; Leo Kristi, Franky Sahilatua dan Gombloh. Ketiganya pernah satu group; Lemon Tree’s.
Ketiganya menjadi seniman dan penyanyi besar di masanya. Namun hanya Leo Kristi yang dikenal sebagai troubadour, musisi pengelana yang menikmati kariernya di jalanan.
Penyanyi bernama lengkap Leo Imam Sukarno ini lahir di Surabaya pada 8 Agustus 1949. Kristi adalah nama julukannya. Ada beberapa versi tentang nama Kristi ini. Versi pertama, Kristi adalah singkatan dari “keris sakti.” Julukan itu merujuk pada gitar Ibanez warna hitam warisan ayahnya. Versi kedua, Kristi adalah nama pasangan duetnya. Pasangan ini dikenal sebagai Leo Kristi. Saat bubar, Leo tetap menyandang nama Kristi.
Leo keturunan bangsawan, ayahnya Raden Ngabei Iman Soebiantoro seorang pegawai negeri yang hobi bermusik. Kegemaran Leo bermain musik dikarenakan sang ayah setiap subuh memutar musik di rumah mereka. Sejak itulah Leo belajar alat-alat musik. Mulai dari gitar, flute, piano, sampai biola. Ia belajar main gitar dari seorang direktur Sekolah Musik Rakyat di Surabaya Tony Kardjik. Ia juga belajar dari musisi terkenal Surabaya pada zamannya, Oei Siok Gwan dan Poei Sing Gwan.
Tamat SMA 1 Surabaya, Leo sempat masuk bangku kuliah jurusan Arsitek di ITS Surabaya, yang ia tinggalkan sebelum lulus, lalu kursus dasar musik kepada Syam Kamaruzaman.
Cuma sebentar khusus musik formal, Leo memilih berdagang daster — yang membuatnya bertemu Gombloh, lantas jadi pengamen jalannya. Setelah itu bertemu Franky Sahilatua — sejarah pun mencatat — “Tiga Serangkai” (Leo – Franky – Gombloh) mendirikan Lemon Tree’s, yang ketiganya melegenda dalam sejarah musik tanah air.
Ketiganya pun menemukan jalan sendiri-sendiri — dan Leo memilih abadi sebagai sang pengelana di jalan sunyi kehidupan, yang menolak mengikuti nalar rakyat kebanyakan.
Leo mendirikan Konser Rakyat Leo Kristi. Formasinya adalah Leo, Naniel, Mung, dan dua gadis bersaudara: Jilly dan Lita. Pada 1975, kelompok ini merilis album pertamanya, Nyanyian Fajar.
Selanjutnya Leo merilis Nyanyian Malam (1976), Nyanyian Tanah Merdeka (1977), Nyanyian Cinta (1978), dan Nyanyian Tambur Jalanan (1980). Total Leo membuat 12 album sepanjang kariernya. Terakhir, Leo membuat Warm, Fresh, and Healthy pada 2010. Sebagai penyanyi dan musisi, Leo konsisten terhadap satu hal, tema sosial. Namun Leo berbeda dengan Iwan Fals maupun Franky Sahilatua. Leo bukan tukang protes, bukan penggugat yang berang. Ia hanyalah menceritakan soal keindahan alam termasuk kondisinya. Ia tidak menyindir. Ia hanya menceritakan apa yang ia lihat.
Istilah trubadur rasanya amat tepat untuknya. Ia berkelana, hidup di antara orang-orang yang sebelumnya tak ia kenal, dan memandang dunia dari dekat. Dengan cara itulah ia mendapat bahan buat lagu-lagunya.
Leo Kristi memang tidak terlalu populer. Leo dianggap tak bisa berkompromi dengan pasar. Ia jarang tampil di televisi dan agak sukar dicari di radio. Ia pun menghindari publisitas. Ia hanya muncul di panggung-panggung kecil, menghilang dan kemudian muncul lagi.
Ia seolah terus menjauhi lampu sorot. Di antara kemunculannya di panggung-panggung kecil, ia menghilang. Jumlah penggemarnya tak seberapa tetapi mereka loyal. Mereka menyebut diri sebagai “LKers.” Kini mereka tergabung dalam sebuah grup penggemar di Facebook. Terkadang, mereka sering berkumpul berdiskusi membicarakan karya-karya Leo Kristi.
Pada 21 Mei 2017, Leo meninggal dunia di usia 68. Jenazahnya dibawa ke rumah sang adik di kawasan Jatiwaringin, Jakarta Timur. Leo pergi setelah melagukan banyak kisah, tentang nelayan, petani, bocah-bocah desa, kereta api tua, dan peron sepi.
Reporter : R Al Redho Radja S