MATA INDONESIA, SEOUL – Kim Kuk-Song, mantan Kolonel Senior Intel Korea Utara, yang saat ini ia bekerja di Intelijen Korea Selatan, membeberkan kisahnya selama ia masih bertugas sebagai agen mata-mata Korea Utara yang berkuasa.
Dalam penuturannya, Kim mengatakan bahwa pangkat dan loyalitas tidak dapat menjamin keselamatan di Korea Utara. Semakin tinggi pangkat justru akan semakin berbahaya. Ini menjadi alasan baginya untuk pindah ke Korea Selatan pada tahun 2014.
Alasan Pindah ke Korea Selatan
Kim telah bekerja selama 30 tahun untuk dapat mencapai posisi teratas di agen mata-mata Korea Utara menjadi mata, telinga, dan otak Pemimpin Tertinggi Korea Utara. Ia mengatakan bahwa ia memiliki koneksi politik yang kuat melalui pernikahannya. Berkat koneksi ini Kim dapat dengan mudah berpindah-pindah ke badan intelijen yang berbeda.
Kim menjalani kehidupan mewah. Ia mendapat Mercedes-Benz oleh bibi Kim Jong-Un. Ia juga bebas bepergian ke luar negeri untuk mengumpulkan uang bagi pemimpin Korea Utara. Ketika di luar negeri, ia menjual batu bara dan logam langka, dan hasil penjualannya berupa uang tunai akan menjadi setoran khusus ke keluarga Kim Jong-Un.
Pada tahun 2011, tidak lama setelah Kim mendapat kedudukan tinggi di politik, Kim Jong-Un memiliki kebijakan menyingkirkan pihak-pihak yang berpotensi menjadi ancaman bagi dirinya, termasuk pamannya sendiri, Jang Song-Thaek.
Jang adalah pemimpin de facto Korea Utara yang populer. Kim menilai bahwa popularitas Kim Jong-Un kalah dengan Jang Song-Thaek. Inilah yang membuat Kim Jong-Un menyingkirkan Jang.
Desember 2013, Kim yang sedang di luar negeri mendapat informasi seputar kematian Jang yang dihukum mati dengan cara ditembak. Ia pun merasakan bahaya dalam hidupnya dan merasa harus pergi dari Korea Utara, meninggalkan kampung halaman untuk selamanya.
Kisah Kim Kuk-Song
Selama menjadi Kolonel Senior Intelijen Korea Utara, Kim pernah bertugas dalam satuan tugas teror untuk membunuh mantan pejabat Korea Utara yang membelot ke Korea Selatan, yakni Hwang Jang-Yop secara rahasia.
Dulunya, Hwang Jang-Yop adalah arsitek utama berbagai kebijakan Korea Utara sekaligus menjadi pejabat paling berkuasa. Namun di tahun 1997, Hwang melakukan pembelotan ke Korea Selatan, dan hal ini adalah hal yang tidak akan pernah dimaafkan oleh keluarga Kim Jong-Un. Inilah yang menjadi penyebab mengapa Kim Jong-Un memerintahkan satuan tugas teror untuk membunuh Hwang. Kim Jong-Un menganggap tindakan ini adalah tindakan memuaskan ayahnya, Kim Jong-Il, selaku pemimpin tertinggi. Di Korea Utara, terorisme menjadi alat politik yang dapat melindungi martabat para pemimpin tertinggi
Tugas Kim yang lainnya adalah melakukan pengembangan strategi untuk menghadapi Korea Selatan yang bertujuan untuk subordinasi politik dengan menjadi mata-mata di Blue House, Korea Selatan. Kim juga mengirim mata-mata untuk melakukan misi operasi de Korea Selatan.
Di bulan April lalu, pemimpin Korea Utara, Kim Jong-Un mengumumkan kepada rakyatnya untuk mempersiapkan keadaan dalam menghadapi krisis. Dan saat itu Kim diperintahkan untuk mengumpulkan dana revolusioner yang berurusan dengan obat-obatan terlarang. Sejak dulu Korea Utara dikenal sebagai negara yang memproduksi dan menjual obat-obatan terlarang.
Thae Yong-Ho, mantan diplomat Korea Utara untuk Inggris yang juga seorang pembelot, mengatakan bahwa Korea Utara memang terlibat dalam perdagangan narkoba yang disponsori oleh negara.
Semua uang di Korea Utara adalah milik pemimpin tertinggi. Termasuk pula uang hasil perdagangan obat-obatan terlarang dan uang hasil perdagangan senjata ilegal dan kapal selam mini khusus ke Iran. Uang tersebut digunakan untuk menikmati kemewahan, di atas penderitaan rakyatnya. Bahkan di tahun 1990-an terdapat ratusan ribu hingga satu juta orang yang tewas akibat kekurangan pangan berkepanjangan.
Korea Utara pernah dikenai sanksi internasional. Hal ini karena negara ini terus berupaya mengembangkan senjata pemusnah massal. Dan menjual teknologi persenjataan kepada negara-negara yang dilanda perang berkepanjangan. Korea Utara juga mendapat tuduhan dari PBB terkait pemasokan persenjataan ke Myanmar, Suriah, Sudan, dan Libya.
Reporter: Intan Nadhira Safitri