MATA INDONESIA, JAKARTA – Sebutan hijab mulai dikenal akrab di Indonesia sejak 2007 lalu. Sebelumnya, masyarakat biasa menyebut jilbab ataupun kerudung.
Hingga tahun 1970-an, hijab, pakaian perempuan Muslim yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan, belum populer di Indonesia. Kebanyakan perempuan mengenakan kerudung, kain tipis panjang penutup kepala yang disampirkan ke pundak, dengan leher masih terlihat.
Jauh sebelumnya, penggunaan hijab pada awalnya hanya digunakan di kalangan perempuan Minangkabau. Di wilayah Indonesia lainnya seperti Jawa dan Sulawesi, perempuan Muslim belum terlihat mengenakan jilbab. Bahkan, tokoh-tokoh perempuan Muslim terkenal seperti Kartini juga tidak memakainya.
Penyebaran penggunaan hijab baru terlihat di kalangan mayoritas perempuan Muslim di Indonesia saat memasuki abad ke-20. Sejumlah toko pakaian di berbagai daerah memberikan jasa khusus untuk menjual jilbab dan busana Islam lainnya.
Hijab secara luas baru mulai populer pada tahun 1980-an. Hal itu bermula dari pengaruh Revolusi Iran pada 1979. Penyebarluasan berita kemenangan Ayatollah Ruhollah Khomeini yang berhasil menjadikan Iran sebagai Republik Islam mendorong rasa solidaritas bagi negara-negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia.
Pada 1980-an, sebuah kajian berjudul Representation and Beyond: Female Victims in Post Suharto Media menyebutkan, kelompok diskusi informal di kalangan pelajar dan mahasiswa Muslim mulai berkembang dibarengi dengan penerbitan buku-buku Islam, termasuk soal identitas penggunaan hijab bagi kaum wanita.
Semangat Revolusi Iran yang anti-Barat masuk ke Indonesia dan menyebar lewat kelompok diskusi mahasiswa Islam. Hal itu mendorong para aktivis Islam menunjukkan identitas keislaman mereka, salah satunya dengan penggunaan hijab.
Semakin maraknya penggunaan jilbab membuat pemerintah lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) menerbitkan sebuah aturan SK 052/C/Kep/D.82 yang melarang pelajar perempuan mengenakan jilbab ke sekolah. Itu adalah surat keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. pada 17 Maret 1982. Keputusan itu kontan memicu protes dari masyarakat, terutama para cendekiawan dan aktivis Islam.
Rezim Orde Baru saat itu memang menganggap kemunculan pemakaian jilbab sebagai wujud sikap pemberontakan terhadap pemerintah. Seperti diketahui, pemerintah Orde Baru tampak ‘alergi’ dengan semua hal yang berkaitan Islam, terutama jika menyangkut politik. Hal ini membuat pemerintah berupaya menghilangkan simbol-simbol ideologis yang terkait Islam.
Mengutip Historia, seiring upaya pembonsaian terhadap peran Islam politik, pemerintah Orde Baru menjalankan aksi penumpasan besar-besaran terhadap kekuatan Islam radikal, seperti Komando Jihad pimpinan Warman dan Jamaah Imran.
Imbas dari pembersihan itu, mahasiswa yang aktif di masjid-masjid kampus juga ikut dicurigai pemerintah. Bahkan, para perempuan berjilbab tidak lepas dari kecurigaan tersebut. Pada awal 1982, seorang siswi SMA Negeri 1 Jember bernama Triwulandari dikeluarkan dari sekolah, dengan alasan melanggar ketentuan aturan pemakaian seragam sekolah dan dicurigai sebagai salah seorang anggota Jamaah Imran. Siswi tesebut bahkan dipanggil ke Markas Kodim 0824 Jember untuk diinterogasi mengenai Jamaah Imran.
Pada waktu yang sama, kecurigaan terhadap siswi pemakai hijab juga terjadi di SMA Negeri 68 Jakarta. Salah seorang siswi bernama Siti Ratu Nasiratun Nisa dikeluarkan karena berjilbab atas dugaan adanya motivasi politik.
Pelarangan mengenakan hijab seolah menjadi alat pihak sekolah untuk merepresi para siswi berjilbab. Banyak korban berjatuhan. Bahkan lebih masif, seperti terjadi di SMA Negeri 3 Bandung pada pertengahan 1982. Saat itu, delapan siswi diancam untuk mengeluarkan diri dari sekolah karena menolak membuka jilbab. Kejadian pengeluaran siswi yang mengenakan jilbab juga terjadi di Tangerang, Bekasi, Semarang, Surabaya, Kendari dan kota-kota lainnya di Indonesia.
Hampir satu dekade, pemerintah Orde Baru tidak memberikan kompromi terhadap penggunaan jilbab bagi pelajar perempuan di sekolah-sekolah negeri. Bagi pemakai jilbab, pilihannya seakan hanya dua, yakni terus bersekolah namun membuka jilbabnya atau terus berjilbab namun harus pindah ke sekolah swasta.
Pada tahun 1989, muncul isu jilbab beracun yang menyebabkan kasus jilbab menjadi memanas. Saat itu beredar isu bahwa ada sekelompok perempuan berjilbab yang menebarkan racun di pasar-pasar. Situasi tersebut menyebabkan para pemakai jilbab terpojok dan sebagian lantas menyerah untuk membuka jilbabnya. Kejadian di Pasar Rawu, Serang membuat isu jilbab beracun seakan mencapai puncaknya, saat diberitakan seorang perempuan berjilbab dihakimi massa karena dituduh membubuhkan racun di tempat seorang pedagang.
Marah atas kejadian-kejadian yang memojokan itu, sebagian umat Islam bereaksi. Sepanjang tahun 1990, para mahasiswa di kota-kota besar marak melakukan demonstrasi untuk menentang peraturan pemerintah yang mendiskriminasi para perempuan berjilbab.
Karena kondisi tersebut, pemerintah khawatir stabilitas negara akan terganggu. Presiden Soeharto akhirnya berhenti menghalangi penggunaan jilbab bagi para perempuan.
Pada 16 Februari 1991, pemerintah mengeluarkan surat keputusan bernomor SK.No.100/C/Kep/D/1991, yang berisi membolehkan para siswi untuk mengenakan pakaian yang didasarkan pada keyakinannya. Hal itu lantas membuat perempuan Muslim dapat mengenakan hijab kembali di sekolah-sekolah negeri.
Surat keputusan tersebut ditetapkan setelah melalui proses konsultasi antara Depdikbud dengan sejumlah institusi yang terkait dengan keamanan negara, termasuk Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) terkait penggunaan hijab.
Setelahnya, pemaknaan atas identitas keislaman makin beragam dan mendapat ruang di muka publik, komersialisasi pun memasuki hijab atau jilbab. Sebagai bagian dari sebuah mode, model hijab dan pakaian Muslim berkembang pesat. Dampaknya pun dapat kita rasakan hingga sekarang, di mana menggunakan jilbab di depan umum menjadi hal yang biasa dan bukan lagi sebuah larangan.
Saat ini, jilbab dikenal dengan sebutan hijab, yang merupakan akselerasi budaya dari Timur Tengah. Hijab sendiri dalam bahasa Arab memiliki arti penghalang, meliputi seluruh bagian tubuh yang termasuk aurat. Namun, bagi negara lain di luar Arab, hijab dikenal sebagai penutup kepala (kerudung).
Reporter: Safira Ginanisa