Daoed Joesoef Pernah Keluarkan Larangan Jilbab

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Ribut-ribut soal pemaksaan penggunaan Jilbab bagi pelajar non muslim di sekolah, maka tak lepas dari kisah larangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di zaman Orde Baru, Daoed Joesoef.

Kebijakan menyeragamkan busana sekolah pertama kali disosialisasikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef pada awal tahun 1980-an. Hal ini lantas memicu kritik negatif dari kalangan umat Muslim.

Marwan Saridjo dalam Tragedi Daoed Joesoef: Catatan Atas Otobiografi Dia dan Aku(2007: 45) menulis Daoed Joesoef dikenal karena kebijakan melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah umum. “Para siswa putri yang tetap bertahan memakai jilbab menjadi korban,” tulis Marwan Saridjo (hlm. 85).

Jika si siswa putri itu bgotot dengan jilbabnya, dia harus pindah ke sekolah agama (madrasah) atau dikeluarkan dari sekolahnya. Di masa Orde Baru, jilbab memang dicap eksklusif.

Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto(2016), Daoed Joesoef memang dikenal sekuler (yang memisahkan agama dengan negara), dan bisa jadi dicap anti-Islam, meski dia sendiri orang Islam. Belakangan, ketika Soeharto mulai merangkul kelompok Islam, jilbab pun diperbolehkan, bahkan menjamur hingga sekarang.

“Dalam memoarnya, kebijakan melarang pemakaian jilbab itu tidak disinggungnya. Mungkin ada keengganan untuk membela kebijakan pelarangan pemakaian jilbab karena dewasa ini hampir semua siswi sekolah umum berjilbab,” lanjut Marwan Saridjo (hlm. 85).

Sikap sekuler itu dikaitkan dengan latar belakang pendidikan tingginya di Prancis. Daoed Joesoef “adalah doktor didikan Prancis (Sorbonne) yang sangat kagum pada sekularisme yang dipraktikkan negara tempatnya belajar,” tulis Salim Said.

Sekularisme di Perancis soal jilbab berbeda dengan sekularisme ala Amerika yang lebih toleran. “Sekularisme Prancis berpangkal pada Revolusi Perancis yang memusuhi agama,” lanjut Salim Said.

Selain soal penggunaan jilbab, Daoed Joessoef pun mengevaluasi hari libur sekolah. Selama bulan suci ramadan, anak-anak sekolah tidak lagi merasakan libur selama satu bulan penuh. Melalui keputusannya, pada tahun 1978, hari libur bagi siswa SD, SMP, dan SMA ditetapkan hanya 10 hari, yaitu tiga hari di awal bulan puasa dan tujuh hari setelah Idul Fitri.

Tentu saja, keputusan tersebut tidak disambut baik oleh sejumlah organisasi Islam dan ulama-ulama Muslim. Buya Hamka yang saat itu menjadi Ketua MUI, menentang dengan keras serta menyerukan kepada sekolah-sekolah untuk mengabaikan ketetapan Menteri, agar tetap memberikan libur siswa-siswi sepanjang bulan puasa. Para tokoh Islam merasa terganggu karena keputusan yang diambil oleh Daoed Joesoef tanpa dirundingkan terlebih dahulu. Mantan Menteri Pendidikan, HM Rasjidi juga termasuk salah satu tokoh yang mengkritik keras kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh Doed. Menurutnya, kebijakan tersebut akan mengasingkan jutaan anak beragama Islam dari suasana keagamaan selama bulan puasa.

Reporter : Anggita Ayu Pratiwi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Kasus ISPA di Jogja Capai 485 pada Oktober 2024, Dinkes Ingatkan Masyarakat Lebih Waspada

Mata Indonesia, Yogyakarta - Peralihan cuaca dari panas ke dingin di pertengahan November ini, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Jogja mengingatkan terhadap adanya kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan radang tenggorokan (faringitis). Berdasarkan data, sebanyak 485 kasus ISPA dilaporkan di seluruh puskesmas Kota Jogja hanya dalam periode 13-17 Oktober 2024 bulan kemarin.
- Advertisement -

Baca berita yang ini